MARI TEGAKAN SUNNAH DAN HEMPASKAN BID'AH !!

Rabu, 30 Maret 2011

Ketika Ikhwan dan Akhwat Jatuh Cinta

Keadaan Hati Diantara Cinta dan Fitnah
Dari Al Faqiir Ilallah Abu Farraas
untuk saudara-saudariku semua………

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah saja, kita memuji-Nya dan memohon pertolongan dan ampunan-Nya dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan diri-diri kita dan dari kejelekan amal-amal kita. Barang siapa telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka tidak akan ada yang sanggup menyesatkannya dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak akan ada yang sanggup memberinya hidayah.
Aku bersaksi bahwa tiada Illah kecuali Allah yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”. (QS. Al Imran : 102)

 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nissa : 1)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71).
Amma ba’du :
Bahwa sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang di ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan didalam neraka.
Hal yang sangat menarik yang sering kita bicarakan salah satunya adalah menyimak ROMANTIKA CINTA DI DUNIA AKTIVIS DAKWAH.Di antara sebegitu banyak yang memiliki komitmen perjuangan yang suci dan lurus, ada juga beberapa yang suatu saat kadang tergelincir, bahkan jatuh tersungkur….Jatuh tersungkur dan tertimpa tangga karena terkena jebakan interaksi ikhwan-akhwat yang diluar batas.Hal ini bisa muncul disebabkan karena ikhwan dan akhwat memiliki amanah yang sama, sesama pengurus harian DKM, atau berada dalam satu Jurusan di kampusnya…, bisa juga dalam satu kepanitiaan ta’lim rutin mingguan, yang jelas dan sangat jelas……membuat interaksi kerja ikhwan dan akhwat menjadi lebih intens…….teratur…terjaga..insya Allah.
Intensitas hubungan kerja atau mungkin dalam da’wah itu suatu saat dapat menumbuhkan BENIH-BENIH SIMPATI ATAU BAHKAN CINTA di antara ikhwan dan akhwat.Hal ini bisa jadi fenomena yang wajar, karena cinta kepada lawan jenis itu fitrah manusia, katanya.
Tapi meski fitrah, tetap aja ada resikonya, terutama pada keikhlasan beramal, apalagi contohnya kalo ujung-ujungnya mengikuti ta’lim atau berda’wah bukan karena niat mencari ilmu atau mengharap wajah Allah, akan tetapi mereka ikut ta’lim atau ikut dalam kegiatan da’wah semata-mata karena ada sang ikhwan yang menawan atau akhwat pujaan yang cantik, anggun, elok nan ayu yang ikut serta dalam kegiatan ta’lim atau kegiatan da’wah tersebut, sehingga munculah ada bibit riya’ dan ujub bisa menghanguskan pahala yang seharusnya didapat, bahkan bukan saja pahala yang hangus….tapi malah dosa yang bertumpuk-tumpuk.
Namun yaa ikhwan fillah jika ternyata kita tidak dapat mencegah adanya perasaan seperti itu, yang seharusnya kita lakukan adalah berusaha menjaga keikhlasan, dan tetap SIMPATI (SIMPan dalam hATI), sampai waktunya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kemampuan kepada kita untuk mewujudkan perasaan itu dengan cara yang suci yang telah di atur dalam syari’at Islam yang mulia ini.
Akan tetapi apabila perasaan itu telah mewujud pada realisasi amal, baik lisan maupun perbuatan, maka tak ayal akan terjadi juga GOMBALISASI di sini.
Contoh kasus atau lebih tepatnya mungkin sebuah fakta yang terlalu sering terjadi di dalam romantika da’wah …(sering terjadi…????...duh gaswat….) :
Sering seseorang ingin mengekspresikan atau menyampaikan perasaannya yang sedang MEMBUNCAH KARENA CINTA ALIAS sedang MABUK KEPAYANG.
Bagi aktivis dakwah, hal seperti ini MESTINYA ALIAS SEHARUSNYA disimpan rapat-rapat dalam lubuk hatinya seperti halnya aib yang takut terlihat oleh orang lain dan seharusnya hal ini menjadi rahasia yang terdalam, RAHASIA YANG HANYA DIRINYA DENGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA SAJA YANG TAHU, agar perasaan yang ada tidak menjerumuskan kedalam riya, atau lebih buruknya lagi beramal bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti kasus tadi ta’lim karena mengikuti orang yang kita suka karena rasa kagum yang  berlebihan kepada seorang akhwat atau kepada seorang ikhwan. Naudzubillah.

Bahkan diantara ulama ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah termasuk Syirik Akbar, karena beramal bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala akan tetapi karena manusia. Naudzubillahimidzalik.
Ikwah fillah pada awalnya mungkin ada ikhwan dan akhwat yang berfikiran jangan sampai si “dia” memergoki adanya perasaan cintanya itu.Malu dong atau Gengsi dong!!, atau dalam hatinya bergumam  aku ini seorang akhwat lho….jilbaber gitu lho…...atau aku ini  seorang ikhwan lho….sang pengemban da’wah Islam….!!.
Namun suatu saat pertahanan benteng itu bisa jebol dan amburadul manakala perasaan itu makin menjadi-jadi pada saat keimanan dalam kondisi menurun atau futur, apalagi ditambah setiap saat yang ada dalam fikiran dan hatinya adalah hanya memikirkan akhwat atau ikhwan pujaannya,……….Ya Allah tolonglah hamba-Mu ini…………...
Maka karena “PERASAAN LIAR” seperti itu, PERASAAN YANG MAMPU MEROBOHKAN KEHORMATAN DAN MERUNTUHKAN RASA MALU. kemudian lahirlah sebentuk perhatian yang awalnya mungkin kecil pada si “dia”, baik berupa nasehat harian, mingguan atau bulanan….., atau tausiyah yang berjubel dalil Al Qur’an dan Hadits Shohih didalamnya, atau mungkin juga bisa berupa pujian kepada sang akhwat…atau kepada sang ikhwan yang semangat ta’limnya…atau semangat dalam da’wahnya…….., atau bisa juga berupa menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi.... (ayo siapa yang sering begitu ?????!!), atau bisa juga hanya sekadar menanyakan kabar….(kayak wartawan pake Tanya-tanya kabar…..).
Entah itu disampaikan lewat SMS, telepon, saat chatting, via e-mail, lewat Facebook, Twitter…..… bisa juga dalam rapat koordinasi, atau dalam sebuah kajian Islam lewat Facebook.Naudzubillah……ini fitnah ya akhi yaa ukhti !!.
Dari pengamatan, yang paling banyak terjadi adalah adanya GOMBALISME VIA SMS, kita sebut saja sebagai SMS gombal (tentu saja SMS ini sangat rapiiiiiiiiiiiii tersembunyi………hanya 3 pihak yang tahu….yaitu Sang Ikhwan…dan Sang Akhwat tercinta……….. serta Dzat yang tidak ada hal apapun yang luput dari pengetahuan-Nya yaitu Allah Shubhanahu wata’ala.....Ayo kita simak contoh SMS-SMS ini….
SMS Sang Ikhwan :Aslm. Apa kbr? Ukhti, ana sungguh kagum dgn semangat anti.Amanah anti di mana-mana namun semuanya bisa tetap tawazun.Anti benar-benar mujahidah tangguh.Tetep semangat ya Ukhti!”(sambil SMS…..Muncul 2 tanduk di kepala Sang Ikhwan…dan tumbuh ekor di belakang… Grrrrr….)
SMS Sang Ikhwan :“Salut sama Ukhti! Anti sungguh militan.Hujan deras seperti itu datang rapat dgn jalan kaki.Jaga kesehatan ya. Ana nggak rela klo Anti sampai jatuh sakit…”…(Brrrrrr……hati bergetar dan tumbuh benih-benih syahwat……yang terkontaminasi Virus Merah Jambu…..)
Balesan SMS dari Sang Akhwat:Aww. Apa kabar? Akhi, sedang ngapain nih? Sudah makan belum? Jangan sampai lupa makan ya..”( Aw aw aw……hati-hati….hidung dan hati Ikhwan bisa kembang kempis kalo dapet SMS gini……)
SMS Sang Ikhwan :Www. Alhamdulillaah, menjadi jauh lebih baik setelah Anti SMS ^_^………. Ane sedang memikirkan seorang bidadari dunia yang begitu anggun mempesona. Hmm… ane belum makan, tapi dah gak terasa lapar klo ingat sama Anti…”(Halah  !!!!…Aslinya gombal benget semua tuh……Alay !!!)
Ada contoh SMS yang lebih parah nih … kayak gini:
SMS Sang Ikhwan :Aww. Wah .. Anti makin terlihat anggun dengan jilbab biru tadi…” (…..duh pengen muntah……………whueeeks...).
Atau  SMS dari sang Ikhwan:Assalaamu ‘alaikum. Apa kbr? Lama nggak kontak ya. Ane kangen ma suara Anti…”(……….hmmm……………………..duh ALAY banget sih akhi……..).
SMS dari Sang Ikhwan:… Ane janji akan menikahi Anti setelah lulus nanti ….” (…nah ini dia JURUS JITU Sang Ikhwan….!!!..hati-hati deh ..!! ukhti bisa jadi korban selanjutnya….)
Oh .. NOOOOOOOOOOOO!!, ternyata Virus Merah Jambu (VMJ) telah merasuki kedua insan yang sebenarnya belum halal melakukan hal seperti itu. Kita memohon ampun kepada AllahSubhanahu wa ta’ala jika kita pernah melakukan hal seperti ini. Astagfirullahal ‘Azhim.
Mungkin lebih banyak lagi SMS-SMS aneh lainnya yang belum terdeteksi (SMS contoh tadi jangan ditiru ya ….).
Hmm..bagaimana reaksi si penerima SMS (“sang mujahidah”?)Ya bervariasi, ada yang cuek saja (ini sikap yang terbaik), ada yang merasa risih (ini lebih baik), ada yang membalas biasa (agak bahaya), ada yang bertanya-tanya bin penasaran (ini lebih bahaya), ada juga yang suka dan berbunga-bunga, ada yang kemudian menaruh harapan (sikap seperti ini hatinya harus di Scan oleh anti Virus Merah Jambu).

Kita simak kisah berikutnya, mungkin pernah terjadi atau sedang terjadi di dalam kehidupan antum……(coba angkat tangan yg sedang mengalami…..!!).
Pada dini hari sekitar pukul dua pagi, suara berisik nada SMS membangunkan seorang akhwat dari perjalanan tidurnya. SMS dari siapa nih malam-malam gini, pikir sang akhwat. Serta merta si akhwat pun buka SMS-nya, hah…?!!!dari seorang ikhwan, bunyinya:
Wahai Ukhty, segera terjagalah dari mimpi indahmu, bangunlah dari peraduanmu, basuhlah wajah dan anggota tubuhmu agar bersinar di hari kemudian, bersujud dan bersimpuhlah kepada Allah, agungkanlah Asma-Nya.Niscaya Allah akan meridhoi langkah kita dan mengabulkan cita dan harapan kita.” (mohon sms ini jangandi contoh ya….-pen).
Sang akhwat tertegun, ngapain malam-malam begini si ikhwan itu ngirim SMS, kurang kerjaan aja. Dasar, sok perhatian nih ikwhan..!!! (ini sih reaksi awal sang akhwat…..selanjutnya ???).

Namun tanpa sadar jari-jari lentik Akhwat itu mengetik balasan:
Jazakallah khairan, Akh. Jangan kapok tuk sering ngingetin ane ya…”(Nah lo!!!!! Gaswat !!! Plak..!! Plak !!Plak !!Dzigg !!!Gubrakk !!!).
Duuuh……..coba deh kita fikirkan dan kita rasa-rasakan, apa SMS-SMS SEMACAM ITU TIDAK BERESIKO?!! Memang sepertinya bagus sih, membangunkan untuk Sholat Tahajud … tapi efek sampingnya bisa menimbulkan penyakit-penyakit hati.Bikin merajalela VMJ (Virus Merah Jambu). Waah..kalau virus yang satu ini menyebar, bisa repot. Sulit nyari vaksin atau anti virusnya….kecuali Scan Virus Merk SUM (Siap Untuk Menikah)…..
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah, Makanya… ingat, penyebab awal perlu dicegah, yakni adanya GOMBALISASI BERMODAL NAFSU DAN PENYAKIT HATI.
Kalau si gombal dah nyebar pesona atau perhatian lewat SMS, maka sedikit banyak korban bisa berjatuhan. Baik ‘lecet-lecet’ ringan maupun ‘luka’ berat seperti hilang rasa malu…..atau bahkan hilang akal dan hilang keikhlasan dalam beramal….bisa jatuh Syirik Akbar karena bermamal untuk mencari “ridho” si “dia”….NaudzubillahCAMKAN HAL INI YAA IKHWAH FILLAH !!!
Bahkan nanti gak hanya berdampak pada hati, tapi juga fisik. Lha bagaimana tidak, bayangin aja … kalau jadi gak enak makan karena bergelayut mikirin Ikhwan atau Akhwat yang disukai, jadigak nyaman tidur karena terus terbayang wajah tampan Sang Ikhwanyang terkesan Sholeh dan suka bercanda tapi tetap menjaga……..(Alah..alah…apa iya ikhwannya kayak gitu ??!! atau jangan-jangan ukhti  sudah kebelet sama sang ikhwan….kok bisa sampe buta hati kayak gitu…..weleh..weleh…weleh…. ???).
Atau Sang Ikhwan TERBAYANG SELALU sikap ayu Sang Akhwat yang sebenernya lagi tebar pesona…na’udzubillah. Tiap saat, seperti mau makan .. ingat dia, mau tidur … ingat dia, mau ngapain aja ingat dia, apa gak lama-kelamaan bisa kurus tuh body ????.Trus …biasanya siapa yang sering jadi korbannya? Siapa lagi kalau bukan kaum wanita/Akhwat….kasian....kasian..…kasian !!!.
Bahkan ga jarang si Ikhwan sampai sering bicara sendiri sama cermin di kamarnya…..berkhayal seakan-akan sedang bicara sama Akhwat pujaannya……Nah Lho..!!!. (wahh……inimah pengalaman pribadi kayaknya …he he he??)

Hey para Ikhwan !!!....Mestinya antum paham dong gimana fitrah perasaan kaum hawa (Akhwat).
Ikhwan fillah mereka (Akhwat) seneng dan suka bila diberi perhatian … mereka (Akhwat)  bisa berbunga-bunga hatinya…. mereka (Akhwat)  sangat….sangat mudah tersentuh hatinya………mereka sangat lemah……..mereka seperti kaca yang mudah pecah……..jadi jagalah mereka dari kezholiman kita yaa akhi…
Apalagi Akhwat yang agresif…duh tolong deh UKH JAGA IFFAHNYA…..kasian sama diri sendiri, jangan mudah jatuh hati sama Ikhwan yang RAJIN MENEBAR DALIL LEWAT SMS malem-malem, atau bahkan lebih bahaya lagi MENEBAR SYUBHAT !!!. tapi sebenernya niatnya sang Ikhwan hanya untuk memikat Ukhti-ukhti calon korban yang rapuh hati dan imannya. Apalagi Ikhwan yang masih bujangan yang biasanya “Rajin dan bersemangat“ melakukan hal ini…..(Ga semua kok…..yang udah nikah aja ada….biar adil..!!). , biasanya ujung-ujungnya biar Ikhwan tersebut terkesan Faqih, Sholeh dan Merasa Pantas Menjadi Sang Suami…padahal masih belum mampu…………sangat jauh dari mampu untuk menikah, biasanya modalnya TEBAR PESONA……aduhai ukhti jagalah dirimu yang sangat mahal itu!!.
Dan ketahuilah tipe cinta Akhwat.(kebanyakan) adalah jatuh cinta sekali yang dibawa sampai mati (catat hal ini wahai para Ikhwan !!),  bukan seperti kebanyakan Ikhwan yang mudah  jatuh cinta…meski istri sudah dua…nah lho…!! (tapi kalo mampu Ta’adud lagi…niat dan ilmu + modal harta sudah  oke…why not….lanjutkan akh perjuanganmu… didukung 1000 %), daripada Ikhwan yg masih bujangan..belum siap nikah tapi udah sebar taaruf dan sebar khitbah………walah…walah..walah…..!!!. istighfar akhi !!! yang sering ya..!!.

Rabu, 16 Maret 2011

Karena Khilafah Gadaikan Aqidah ??? itulah Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir mengatakan bahwa aqidah Islam yang ada pada Hizbut Tahrir adalah bersadarkan pada akal dan siyasi (Al Iman halaman 68 dan Hizbut tahrir halaman 6). Maka akal orang-orang ini adalah dasar dari agama. Mereka berkata "kami mengetahui Allah berdasarkan akal kami". Tapi bertentangan dengan pernyataan ini, adalah pernyataannya Umar Bakri, bahwa salah satu sebab perpecahan di kalangan muslimin adalah ketika sebagian kaum muslimin menggunakan akal dalam membahas permasalahan aqidah (Tafsir surat Al Ma'idah 5/29).

Mereka menjelaskan bahwa khilafah tidak akan tegak dengan berdasarkan pada akhlaqul karimah, tetapi berdirinya khilafah adalah dengan pengoreksian terhadap doktrin aqidah dan manhaj yang dibawa atau dipraktekkan dalam Islam (At Taqatul Hizbi halaman 1).

Dan dikatakan oleh mereka bahwa dakwah pada akhlaqul karimah tidaklah akan membuat masyarakat menjadi benar dan tidak akan membuat tegaknya khilafah, tapi masyarakat itu akan tegak dikarenakan adanya koreksi pada doktrin aqidah dan tidaklah dengan menyerukan pada akhlaqul karimah (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir halaman 26-27).

Maka kita katakan "Masyarakat itu akan tegak dengan keduanya (aqidah dan akhlaqul karimah), dan Islam menyerukan pada keduanya".

Taqiyuddin mengingkari adanya ikatan emosi pada jiwa manusia, tidak ada ikatan bathin. Dia katakan tidak ada ikatan emosi pada jiwa manusia dalam ajaran Islam. Karena pendapatnya inilah, kami melihat Hizbut Tahrir tidak mempunyai kelemah-lembutan dan akhlaqul karimah dalam menghadapi umat.

Dia berkata dalam Nizhamul Islam halaman 61 dan Al Fikrul Islami Al Mu'asyir halaman 202 bahwa mereka-mereka (para ulama Ahlus Sunnah) yang mengatakan bahwa wanita itu semuanya aurat, maka hal ini adalah bukti dari keruntuhan, perusakan akhlaq, padahal sudah pasti bahwa laki-laki dan perempua itu akan bertemu bersama-sama ketika melakukan transaksi jual-beli.

Lalu dia katakan dalam An Nizham halaman 10 dan 12, bahwa berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram itu tidak akan merusak akhlaq. Dia mengatakan bahwa bila wanita itu berhijab maka hal itu adalah keruntuhan dan perusakan akhlaq, tapi dia berkata bahwa berjabat tangan dengan wanita bukan mahram itu tidak merusak akhlaq.

Oh Hizbut Tahrir...........mengapa kalian ??!!!!


Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah




Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”kebanyakan dari umatku yang mati berdasarkan pada Kitabullah dan Al Qadha wal Qadar dai Allah adalah karenanya al anfus (dicabutnya nyawa)” (HR. Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 5/6, Ibnu Hajar menshahihkannya dalam Fathul Bari 10/167)
Hizbut Tahrir mengatakan bahwa aqidah Islam yang ada pada Hizbut Tahrir adalah bersadarkan pada akal dan siyasi (Al Iman halaman 68 dan Hizbut tahrir halaman 6). Maka akal orang-orang ini adalah dasar dari agama. Mereka berkata “kami mengetahui Allah berdasarkan akal kami”. Tapi bertentangan dengan pernyataan ini, adalah pernyataannya Umar Bakri, bahwa salah satu sebab perpecahan di kalangan muslimin adalah ketika sebagian kaum muslimin menggunakan akal dalam membahas permasalahan aqidah (Tafsir surat Al Ma’idah 5/29).
Mereka menjelaskan bahwa khilafah tidak akan tegak dengan berdasarkan pada akhlaqul karimah, tetapi berdirinya khilafah adalah dengan pengoreksian terhadap doktrin aqidah dan manhaj yang dibawa atau dipraktekkan dalam Islam (At Taqatul Hizbi halaman 1).


Hizbut Tahrir Meragukan Aqidah Ajaran Rasulullah Shalallohu 'Alaihi wa Salam !!



Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain :

- Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.

Selain itu pada mushaf al Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga ayat yang AHAD periwayatannya yaitu QS at Taubah ayat terakhir. Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”. (lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)

Sebagian besar aqidah yang disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur dan seterusnya), terdapat dalam hadits ahad yang shohih dan semua aqidah yang terdapat dalam hadits ahad yang shohih adalah mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun kesemuanya masuk kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah diajarkan dan diyakini oleh Rasulullah.

Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak tersurat pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan neraka juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam butir rukun iman terhadap hari akhir.

Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.

Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.

Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Dia orang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).

Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga menyatakan penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan Ibnu Ulayyah yang menolak total kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.

Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita mulia menegakkan syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan menyebarluaskan penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat dalam hadits ahad meskipun hadits tersebut shohih.

Hadits Ahad Lagi...........

Mengharamkan khabar ahad untuk menjadi hujjah tanpa diperkuat dengan dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti telah menetapkan hukum tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami meminta kepada mereka yang menuntut ditegakkan syari’at Allah, hendaknya mereka terlebih dahulu menegakkannya pada diri mereka.

Seharusnya, ketika mereka menyaksikan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pernah mengirimkan satu orang sahabat untuk membawa misi da’wah tentang aqidah ke penduduk Yaman, seharusnya mereka mau tunduk dan menerima kenyataan ini, serta mengatakan “sami’naa wa ‘atha’naa” (kami mendengar dan kami akan mengikutinya), bukannya mengatakan “sami’naa wa asha-inaa wa jaadalnaa wa ta’ashshobnaa” (kami mendengar, tapi kami tidak akan mengikutinya, bahkan kami akan mendebatnya dan fanatik).

Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah, tentunya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya akan mengirim satu orang. Dan tentunya orang-orang di Yaman pun akan mengatakan kepada Mu’adz “kau datang sekarang ini sebagai khabar ahad, dan kami tidak akan dapat menerima ajaran-ajaran tentang aqidah darimu. Kembalilah engkau kepada Nabimu. Katakana kepadanya, hendaknya Beliau mengirimkan kepada kami serombongan dari sahabat yang jumlahnya sampai pada tingkat mutawatir, agar mereka dapat mengajarkan kepada kami masalah-masalah aqidah”.

Begitu pula dengan surat-surat para khalifah sesudah Beliau dan para gubernur mereka. Sementara itu, telah menjadi ketetapan umat Islam, bahwa Khalifah yang mereka angkat hanya satu orang.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : “Sebagaian para imam menggunakan ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berbunyi :


يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu, jika engkau tidak lakukan hal tersebut, maka sesungguhnya engkau tidak menyampaikan risalahNya. [Al Maidah:67], sebagai dalil bisa diterimanya khabar ahad.

Di ayat ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara itu, Beliau adalah Rasul (utusan) untuk seluruh manusia. Oleh karenanya, Beliau harus menyampaikan risalah ini kepada semua manusia. Jika khabar ahad tidak dapat diterima, tentunya syari’at Islam ini tidak akan bisa disampaikan kepada seluruh manusia. Karena, tidak mungkin Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mampu berdialog langsung dengan seluruh manusia. Begitu juga Beliau tidak akan bisa untuk mengirimkan sejumlah orang yang mutawatir. Ini adalah hujjah yang bisa diterima”.[1]

Diantara dalil yang membatalkan ungkapan di atas, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengirim satu orang sahabat untuk mendatangi Raja Hiraklius. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dalam surat yang ditujukan kepadanya “Bila engkau menolak, maka sungguh engkau akan menanggung dosa orang-orang Arisiyyin” Artinya, jika engkau menolak dan tidak menerima yang telah aku kabarkan kepadamu, maka engkau akan menanggung dosa seluruh rakyatmu.

Sekiranya Raja Hiraklius itu termasuk orang Hizbut Tahrir, tentu dia akan menolak utusan Nabi n tersebut dan memintanya untuk kembali lagi dengan membawa rombongan yang jumlahnya sampai pada tingkat mutawatir, sehingga risalah dan kabar yang mereka bawa dapat diterima.

ULAMA TELAH IJMA’ BAHWA KHABAR AHAD SEBAGAI HUJJAH
AllahSubhanahu wa Ta'alal telah menjadikan Ijma’ kaum muslimin sebagai hujjah. FirmanNya :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasai itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An Nisaa’ : 155].

Al ‘Adlu (keadilan) Allah Versi Mu’tazilah. Sangat Sama dengan Aqidah Hizbut tahrir


Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah mendzalimi hamba-Nya. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy berkata: “Mengenai al ‘adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran taqdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah dzalim, padahal Allah adil dan tidak dzalim. Sebagai konsekuensinya, mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Juga (konsekuensinya) mensifati Allah itu lemah, Maha Tinggi (Suci) Allah dari hal itu[12] Sebab kesesatan mereka ini adalah ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar’iyah.[lihat : Al Mausu’ah Al Muyassarah 1/73]
Sering terlontar dari syabab-syabab Hizbut Tahrir yang  masih sangat muda dan bersemangat tanpa berbekal ilmu mengatakan kepada setiap orang “ bahwa orang yang mabuk, berzina, membunuh tidak akan di ampuni dosa mereka oleh Allah, meskipun mereka bertaubat. Kenapa ???? karena mereka belum dihukum hudud, belum di cambuk, belum dipotong tangannya, belum dirajam. Makanya dosa mereka tidak di ampuni”.  Kemudian syabab-syabab muda ini pun berkata “ tapi bagaimana bisa mereka di cambuk klo tidak ada hukum islam, dan bagaimana hukum islam bisa tegak klo ga ada KHILAFAH. Makanya yuk tegakan khilafah……bersama kami , dengan gabung bersama Hizbut tahrir….”.

Senin, 14 Maret 2011

ke Khilafahan hanya 30 tahun .....!!1


Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah di bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah di bumi, dan telah mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain, untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika mereka berlaku zhalim, dan para rasul telah datang kepada mereka dengan keterangan yang nyata akan tetapi mereka tidak beriman. Demikianlah Kami membalas kaum yang suka berbuat jahat. Kemudian Kami telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka agar Kami melihat bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
“Maka mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya dalam sebuah perahu, dan Kami jadikan mereka sebagai khalifah-khalifah, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan”. (QS Yunus: 73)
“Dialah yang telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi. Maka barangsiapa kufur, niscaya kekufurannya itu akan menimpa dirinya sendiri ….. (QS Fathir: 39)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sesudah kaum Nuh, dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS Al-A’raf: 69) [ucapan Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sepeninggal kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf: 74) [ucapan  Shalih as. kepada kaumnya]
“Atau siapakah yang memperkenankan do’a orang yang terjepit apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan , dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) .. “ (QS Al-Naml: 62)


Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf mereka (menjadikan mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana  Dia telah meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum mereka, dan (janji) bahwa Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai-Nya bagi mereka …..”. (QS  Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf  (yang dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
“Dan Rabb-mu Maha Kaya dan Yang Memiliki Rahmat. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memusnahkan kalian dan akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) apa yang dikehendakinya setelah kemusnahan kalian, sebagaimana  Dia telah menjadikan kalian dari keturunan kaum yang lain (sebelum kalian)”. (QS Al-An’am: 133)
“Jika kalian berpaling maka sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa-apa (ajaran) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian. Dan Rabb-ku akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) kaum selain kalian ….” (QS Huud: 57)
“Mereka (kaum Musa) berkata (kepada Musa),’Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang dan sesudah kamu datang’. Musa menjawab,’Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kalian dan meng-istikhlaf kalian (menjadikan kalian sebagai khalifah) di bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal”. (QS Al-A’raf: 129)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy) dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah,   …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
  1. Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
  2. Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya.
  3. Al-takhalluf : terlambat
  4. Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan)
  5. Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan Musa selama kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).
Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam Kitab Allah.
Sebagai pemikul amanat Allah, manusia telah dibekali dengan akal. Dengan akal itulah manusia memahami isi kitab Allah. Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat memahami isi kitab Allah. Akal yang bisa memahami adalah akal yang difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial. Ia akan menjadi aktif setelah disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha Adil. Setiap manusia yang bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan) akalnya pasti akan diberi hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang bermujahadah dalam (mencari jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang belum menemukan jalan Tuhannya pastilah orang yang belum bermujahadah (berusaha sekuat tenaga) dalam mencari jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim telah bermujahadah dalam mencari Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang panjang akhirnya Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Akal yang berada dibawah sinar hidayah Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab Allah. Namun perlu disadari bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas pemahaman yang dihasilkan pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat adalah sinar nubuwwah (kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami hal-hal yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar kenabian itu, Allah telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah untuk meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran interpretasi nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari nabi harus diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar hidayah yang derajatnya berada setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah yang diterima oleh para ulama. Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan mampu memahami hal-hal yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, para ulama merupakan referensi sekunder dalam mencari interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan pendapat dalam interpretasi pada dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, keluasan pandangan yang berbeda, atau kedalaman pandangan yang berbeda. Barangsiapa mampu memandang suatu persoalan dari segala sudut pandang, meliputi segenap dimensinya, dan menyentuh bagian-bagian terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan tersebut dengan pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari sebuah obyek tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian proyeksi dari obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara menyeluruh (dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami bagian luar obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak sempurna. Namun apabila dia mampu memahami obyek tersebut sampai ke relung-relungnya yang paling dalam, maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara sempurna.
Aspek-aspek teknis dalam masalah interpretasi kitab Allah dibahas secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh. Untuk menghemat ruang dan waktu, penulis tidak ingin membahasnya disini.
Sunnatullah: Segala Sesuatu Membutuhkan Sang Pengatur (Pemimpin)
Allah merupakan Sang Pengatur Tertinggi atas segala sesuatu. Seandainya tidak ada Sang Pengatur Tertinggi, niscaya alam akan rusak binasa. Bahkan kalaupun ada pengatur, namun jumlahnya ada dua dan sederajat, maka alam akan rusak binasa pula. “Andaikan di langit dan bumi ada banyak ilah selain Allah, tentu keduanya akan rusak binasa” (QS. Al-Anbiya’: 22).
Keberadaan manusia sebagai pengganti Allah di bumi berarti bahwa manusia merupakan pengatur bagi segenap yang ada di bumi agar tidak rusak binasa. Apabila bumi mengalami kerusakan maka yang bertanggung jawab adalah manusia. Oleh karena itu, segenap kerusakan yang ada di bumi akan dinisbatkan kepada sikap dan tingkah laku manusia. “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat tingkah laku manusia” (QS. Al-Ruum: 41).
Setiap manusia merupakan pengatur (al-raa’y), hanya saja ruang lingkupnya bisa beragam. “Setiap kalian adalah pengatur (al-raa’y, penggembala) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengaturannya (kepemimpinannya). Setiap manusia bertanggung jawab atas kelestarian alam, karena alam merupakan obyek bumi yang mengelilingi manusia. Komunitas sesama manusia pun memerlukan pengaturan, karena setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin akan kontraproduktif terhadap kepentingan individu yang lain. Jika berbagai kepentingan individu ini tidak diatur oleh seorang pengatur maka kepentingan-kepentingan tersebut akan saling bertabrakan sehingga akan terjadi kerusakan. Tabrakan-tabrakan kepentingan inilah yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai sesuatu yang harus ditengahi dengan hukum (al-hukm), yang tidak lain adalah hukum Allah. Hukum Allah inilah yang akan bisa menengahi pertikaian kepentingan secara adil (bi al-‘adl, bi al-qisth), sehingga segala sesuatu akan berada pada tempat yang semestinya, sehingga keseimbangan alam pun akan tetap terjaga.
Hukum Menegakkan Khilafah (Negara)
Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal.
Golongan kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus. Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis. Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan tegak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ? Mungkinkah setiap manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang berperangai dan berbuat jahat ?
Titik temu diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum Allah merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan (negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan. Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah. Apabila suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang pada asalnya tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.
Kriteria Seorang Pemimpin
Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam, yang berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.
Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat) terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya  membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul  sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).
Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm), sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas.
Imam Mawardi menyebut golongan penguasa sebagai ahlul imamah, yang harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
  1. Al-‘adalat.
  2. Ilmu ijtihad.
  3. Memiliki kesehatan indera pendengaran, penglihatan, dan lisan.
  4. Memiliki kesehatan anggota badan yang memungkinkan baginya bergerak dengan baik.
  5. Memiliki kapasitas intelektual yang melimpah, yang memungkinkan baginya untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat.
  6. Memiliki heroisme yang memungkinkan baginya menjaga kedaulatan negara.
  7. Nasab: harus dari kabilah Quraisy.
Kalau kita mengamati kriteria Mawardi, maka kita dapati bahwa kriteria ke-1 dan ke-2 merupakan kriteria al-‘ilm, sementara kriteria ke-3 sampai dengan kriteria ke-6 masuk kedalam kriteria al-quwwat. Kriteria ke-3 dan ke-4 merupakan kekuatan fisik (al-quwwat al-jasadiyyat), sedangkan kriteria ke-5 dan ke-6 merupakan kekuatan non fisik (al-quwwat al-ma’nawiyyat).
Satu kriteria yang sepintas lalu tidak termasuk kedalam dua kriteria asasi adalah kriteria ke-7 (nasab). Namun kalau dicermati, kriteria nasab pada dasarnya masuk kedalam kriteria al-quwwat. Sebagaimana dikatakan oleh beberapa pakar sosiologi Islam, keharusan nasab Quraisy bagi seorang khalifah (pemimpin tertinggi dunia Islam) pada hakikatnya bertujuan untuk menggalang legitimasi dan dukungan dari segenap lapisan rakyat, karena pada masa-masa awal Islam kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling dihormati dan disegani oleh semua pihak. Dengan demikian apabila sang khalifah berasal dari Quraisy, maka legitimasi dan dukungan akan mudah didapat, sehingga stabilitas pemerintahan bisa dicapai. Jadi, nasab ke-Quraisy-an disini merupakan kekuatan legitimasi bagi seorang penguasa. Kekuatan legitimasi sendiri merupakan salah satu bentuk kekuatan (al-quwwat).
Kita bisa mengatakan bahwa kriteria Mawardi diatas tidak lagi dikemukakan dalam tataran esensial, namun sudah berada dalam tataran derivatif. Sesuatu yang derivatif tidak bersifat mutlak. Ia bisa berubah sedemikian rupa dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan esensialnya.
Ada baiknya jika kita mencoba untuk merumuskan kembali kriteria Mawardi dalam tataran pertengahan, tidak terlampau esensial (sebagaimana tampak pada dua kriteria asasi) sehingga terkesan mengawang-awang, namun juga tidak terlampau derivatif (sebagaimana tampak pada formulasi Mawardi) sehingga bersifat kondisional (tidak selalu relevan dengan segala kondisi).
Kriteria pertama (al-‘adalat, integritas pribadi) tidak membawa persoalan. Kriteria kedua juga merupakan suatu kepastian. Ilmu ijtihad merupakan kecerdasan teoritis-transendental (al-kais al-nazhariy al-syar’iy) yang merupakan instrumen yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia bisa menetapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Tanpa kriteria kedua ini, kepemimpinan seseorang akan terlepas dari kerangka Ilahi, yang berarti menyalahi fungsi manusia sebagai khalifat al-Lah.
Kriteria ketiga pada dasarnya lebih mengarah pada fungsi dari indera-indera fisiknya  ketimbang jasad fisik dari indera-indera fisik itu. Indera penglihatan dan penglihatan merupakan alat eksternal untuk memperoleh pengetahuan secara sempurna. Indera lisan merupakan alat yang paling cepat dan efektif untuk menyampaikan informasi (pengetahuan). Jadi ketiga indera tersebut merupakan hardware untuk input dan output dari suatu “CPU” yang bernama akal. Andaikan ada alat artificial yang bisa menggantikan fungsi input dan output pengetahuan dengan kualitas yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga alat indera tersebut, niscaya keberadaan alat artificial tersebut bisa memenuhi kriteria ketiga. Namun, adakah ciptaan manusia yang bisa menyamai ciptaan Allah ?
Kriteria keempat (kelengkapan anggota badan yang memungkinkan gerak yang baik) pada dasarnya ditetapkan untuk menjamin kemampuan dalam melakukan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Betapa banyak aktivitas yang membutuhkan gerak, baik gerak anggota badan relatif terhadap badan maupun gerak badan relatif terhadap bumi. Di masa silam, semua tuntutan tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan anggota badan yang lengkap. Namun di era informasi-globalisasi sekarang ini, berbagai aktivitas yang layaknya dilakukan oleh seorang khalifah tidaklah secara mutlak mensyaratkan kelengkapan anggota badan. Jadi, kriteria keempat Mawardi, dengan formulasi beliau, tidak lagi relevan untuk saat ini. Yang masih relevan adalah jiwa dari formulasi beliau, yaitu jaminan kemampuan untuk menunaikan segenap aktivitas seorang khalifah.
Kriteria kelima (kapasitas intelektual) tidak membawa persoalan baru. Yang dimaksud dengan kapsitas intelektual disini ialah kecerdasan praktis (al-dzaka’ al-‘amaliy) atau kebijaksanaan praktis (al-hikmat al-‘amaliyat) mengenai segenap masalah yang berkaitan dengan usaha untuk mengatur negara dalam mencapai maslahat. Masalah-masalah tersebut beragam sesuai dengan tuntutan realitas (mathlub al-waqi’).
Kriteria keenam (heroisme) berarti ketegasan mengambil sikap dalam segala usaha untuk menjaga kedaulatan negara. Jika kriteria ini tidak terpenuhi maka musuh akan memandang rendah negara dan mudah merongrong kedaulatan negara. Seorang khalifah haruslah seorang mujahid, yang tidak segan-segan mengangkat pedang menghadapi orang-orang yang berbuat zhalim dan orang-orang yang menghalangi dakwah agama Allah.
Kriteria ketujuh (nasab) sudah penulis singgung didepan. Jiwa dari kriteria ini adalah kekuatan legitimasi dalam rangka menjaga kesatuan umat dan stabilitas negara.
Apabila kita rangkum, jiwa dari kriteria Mawardi adalah sebagai berikut:
  1. Integritas pribadi.
  2. Kecerdasan teoritis-transendental.
  3. Sanggup menerima dan menyampaikan informasi / pengetahuan secara sempurna.
  4. Jaminan kemampuan untuk melakukan segenap aktivitas seorang khalifah.
  5. Kapasitas intelektual.
  6. Heroisme (ruhul jihad).
  7. Kekuatan legitimasi.
Begitulah Mawardi telah mengemukakan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang khalifah. Ibn Taimiyyah, sebagaimana kita lihat sejak awal, agaknya memiliki pandangan yang lebih sederhana namun lebih esensial dibandingkan Mawardi. Yang perlu ditambahkan disini ialah bahwa dalam masalah kriteria al-quwwat, Ibn Taimiyyah berpandangan bahwa wujudnya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntutan realitas. Dalam negara yang menghadapi krisis pertahanan/keamanan, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah keberanian, ketegasan, dan pengetahuan pertahanan/keamanan yang mumpuni. Dalam negara yang sedang menghadapi masalah-masalah ekonomi yang pelik, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah wawasan ekonomi yang cemerlang. Dalam negara yang menghadapi krisis moral, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah ketaqwaan dan kebijaksanaan. Demikian seterusnya.
Macam-macam Kepemimpinan: Khilafah dan Kerajaan (Mulk)
Menurut Ibn Taimiyyah, para nabi Allah dibedakan atas tiga kategori dalam kaitannya dengan kekuasaan (al-mulk). Pertama, nabi yang didustakan dan tidak diikuti oleh kebanyakan kaumnya, dimana dia merupakan seorang nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan oleh Allah (nabi tanpa singgasana), seperti Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa. Kedua, nabi yang sekaligus penguasa (nabiyy malik), seperti Dawud, Sulaiman, dan Yusuf. Indikasi keberkuasaannya ialah bahwa mereka memerintahkan hal-hal yang sifatnya mubah. Ketiga, nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan namun ditaati dan diikuti oleh kebanyakan kaumnya, yakni Muhammad saw. Indikasi ketidakberkuasaannya ialah bahwa beliau tidak akan memerintahkan sesuatupun kecuali dengan perintah Allah (wahyu). Ketika Rasulullah saw. ditanya oleh Allah,”Pilihlah, apakah engkau ingin menjadi hamba dan rasul (‘abd rasul), ataukah engkau ingin menjadi nabi sekaligus raja (nabiyy malik)”. Maka beliau memilih menjadi hamba dan rasul, dengan meninggalkan kerajaan. Jadi, Nabi Muhammad bukanlah seorang raja, namun beliau adalah pemimpin umat. Kepemimpinan Rasulullah yang demikian ini disebut sebagai khilafat al-nubuwwat (kepemimpinan Nabi). Dengan posisi inilah beliau telah memimpin Negara Madinah.
Karena kita adalah umat Muhammad yang harus ber-uswah kepada beliau, maka kita dituntut untuk bisa mewujudkan kembali kepemimpinan model Rasulullah sepeninggal beliau. Kepemimpinan ini sering disebut sebagai khilafat al-nubuwwat atau khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, atau biasa disingkat dengan sebutan khilafah saja.
Durasi khilafah segera sepeninggal Nabi dinyatakan dalam banyak hadits.
“Khilafah Nabi berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian (setelah itu) Allah memberikan kerajaan (al-mulk) kepada siapa yang dikehendakinya” (HR. Abu Dawud, dari Abdul Warits dan Al-‘Awwam).
“Khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan berubah menjadi kerajaan (al-mulk)" ” (hadits masyhur riwayat ahlu Sunan dan dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad).
Nabi saw. wafat pada Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Genap tiga puluh tahun sesudahnya bertepatan dengan peristiwa Tahun Persatuan (‘Aam al-Jama’at) yaitu pada Jumadil Awwal tahun 41 H dimana Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Jadi pemerintahan Muawiyah merupakan awal dari masa kerajaan (al-mulk).
Nabi juga telah memberikan prediksi mengenai periodisasi kekuasaan sepeninggal beliau sampai datangnya hari kiamat.
“Akan datang khilafah Nabi bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan kerajaan (mulk) bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan kerajaan bersama dengan otoritarianisme (jabbariyyat), kemudian disusul dengan kerajaan yang ‘menggigit’ (lalim)” (HR. Muslim).
Riwayat lain yang sangat masyhur mengurutkan periodisasi kepemimpinan tersebut dimulai dengan kepemimpinan Nabi (zaman Nabi), kemudian khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, kemudian kerajaan yang “menggigit” (mulk ‘adhudh), kemudian kerajaan yang otoriter (mulk jabbariy), dan akhirnya muncullah lagi khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat. Yang menarik pada riwayat yang belakangan ini adalah prediksi Nabi bahwa khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat akan muncul lagi di akhir zaman. Atas dasar hadits prediktif inilah, kebangkitan Islam dan pergerakan Islam semakin menggelora untuk meraih cita-cita yang pasti tersebut. Adapun yang menarik dari riwayat pertama ialah bahwa sebelum tegaknya khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, akan tegak tiga model kerajaan (bukan dua sebagaimana pada riwayat yang kedua).
Kalau kita amati matan hadits-hadits prediktif tersebut, kita dapati bahwa Nabi selalu menggunakan kata mulk untuk menyatakan model kekuasaan selain khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat. Ini menunjukkan bahwa makna kata mulk dalam hadits-hadits tersebut jauh lebih luas daripada makna kerajaan yang kita pahami dewasa ini (kerajaan monarki atas dasar pewarisan kekuasaan), karena dalam kenyataan sejarah terdapat banyak negara besar yang tidak menerapkan model kerajaan monarkis. Oleh karena itu, makna yang tepat untuk kata mulk tersebut ialah segala jenis model kekuasaan selain khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat.
Terlepas dari kepastian terlaksananya prediksi Nabi diatas, kita akan membahas bagaimanakah hukum menunaikan kepemimpinan dalam bentuk mulk dan khilafah. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa dalam syariat sebelum Muhammad saw, menegakkan mulk itu boleh, sebagaimana yang dilakukan oleh Dawud, Sulaiman, Yusuf, dan Dzul Qarnain. Adapun dalam syariat Muhammad saw, maka pada asalnya, menegakkan mulk itu tidak boleh, sementara menegakkan khilafah itu wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi, “ Wajib bagi kalian melaksanakan sunnahku dan sunnah al-khulafa’ al-rasyidun sesudahku. Berpegang teguhlah dengannya meskipun (untuk itu) kalian harus menggigitnya dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah itu sesat”. Kita baru boleh meninggalkan model khilafah (berarti menegakkan mulk) apabila ada kebutuhan untuk itu, sebatas kebutuhan itu pula. Demikianlah pendapat yang paling moderat menurut Ibn Taimiyyah mengenai penegakan mulk dan khilafah.
Lebih rinci lagi, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa penegakan mulk karena kebutuhan itu bisa terjadi dalam beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, mulk tegak karena ketidakmampuan menegakkan khilafah. Dalam hal ini, hukumnya adalah ma’fuw (dimaafkan). Kemungkinan kedua, mulk tegak sebagai hasil ijtihad. Maksudnya, kemampuan untuk menegakkan khilafah itu ada, namun ijtihad yang dilakukan mengatakan bahwa khilafah itu mustahab saja (tidak wajib) dan mulk itu boleh sebagaimana bolehnya mulk pada syariat sebelum Muhammad. Dalam hal ini, tidak ada dosa apabila sang penguasa (malik) memerintah dengan adil. Perlu diketahui, bahwa pendapat yang demikian ini dikemukakan  oleh Ibn Taimiyyah dalam latar diskusi panjang menyikapi kepemimpinan Muawiyah, yang termasuk salah seorang sahabat Nabi.
Diskusi Ekstensif Mengenai Bentuk Negara
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah, kita mencatat bahwa apabila beliau konsisten, maka disana masih tertinggal perbedaan pendapat mengenai bentuk negara. Disatu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa khilafah itu wajib dan hanya boleh ditinggalkan dengan sebab-sebab tertentu. Namun disisi lain ada pendapat yang mengatakan bahwa adanya ijtihad yang memperbolehkan penegakan mulk itu juga tidak mengakibatkan dosa, apabila negara diselenggarakan dengan adil. Dari sini  kita dapati bahwa titik temu yang pasti hanyalah keadilan. Dan memang poin inilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Kalau memang kata kuncinya adalah keadilan, maka dengan menghubungkan antara kata ini dengan periodisasi kekuasaan yang disebutkan Nabi, kita akan mendapatkan bahwa mulk ‘adhudh dan mulk jabbariy tidak termasuk kedalam bentuk negara yang diperbolehkan oleh syariat. Sebabnya tidak lain adalah karena sifat ‘adhudh (lalim) dan jabbariy (otoriter)  itu sendiri bertentangan dengan sifat keadilan. Dengan demikian, hanya mulk wa rahmat sajalah yang merupakan mulk yang diperbolehkan oleh syariat, karena makna rahmat selaras dengan makna keadilan. Pemerintahan Muawiyah termasuk kedalam mulk wa rahmat, sehingga karenanya absah menurut syariat. 
Dengan demikian kita memahami bahwa  segala bentuk pemerintahan saat ini pada asalnya tidak dibenarkan oleh syariat (karena sudah lewat dari mulk wa rahmat), sehingga kita harus berusaha untuk menegakkan suatu pemerintahan yang adil, yang berdasarkan periodisasi Nabi tidak lain adalah khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat.
Namun tentu saja, basis dari semua pemikiran ini adalah keyakinan terhadap hadits sebagai sumber syariat. Tanpa keyakinan tersebut, niscaya segala pandangan diatas tidak ada artinya sama sekali.
Diskusi mengenai bentuk negara juga tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang mekanisme pemilihan seorang khalifah. Beberapa terminologi modern mengenai bentuk-bentuk negara dibuat berdasarkan pada mekanisme pemilihan kepala negaranya, misalnya negara demokrasi, negara monarki, negara teokrasi, atau negara teo-demokrasi (istilah yang diperkenalkan oleh Maududi). Untuk itu, berikut ini kita akan membahas tentang mekanisme pemilihan khalifah.
Mekanisme Pemilihan Khalifah
Terdapat banyak pendapat mengenai bagaimanakah seorang khalifah ditetapkan.
Pertama, khalifah ditetapkan dengan nash. Ini merupakan pendapat kaum Syi’ah.
Kedua, khalifah ditetapkan dengan pemilihan (al-ikhtiyar).
Pendapat kedua inipun masih terbagi-bagi menjadi berbagai pandangan. Sebagian membolehkan penetapan khalifah dengan ikhtiyar (penetapan) khalifah sebelumnya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah harus dipilih oleh rakyat banyak.
Penetapan khalifah dengan nash akan memunculkan suatu negara teokrasi, apabila disertai dengan keyakinan bahwa khalifah merupakan wakil Tuhan di bumi, yang memegang kebenaran absolut.
Penetapan khalifah atas dasar ketetapan khalifah sebelumnya semata akan memunculkan negara monarki. Sementara penetapan khalifah atas dasar pilihan rakyat banyak akan memunculkan negara demokrasi. Istilah negara teo-demokrasi muncul belakangan dengan makna negara demokrasi yang dibingkai oleh norma-norma Ilahi, sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Dalam konteks ini, istilah negara demokrasi (lebih tepatnya demokrasi liberal) kemudian diartikan sebagai negara yang sepenuhnya tergantung pada rakyatnya, tanpa dibatasi oleh otoritas transendental.
Keharusan penetapan khalifah dengan nash hanya diyakini oleh kaum Syi’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) beranggapan bahwa penetapan khalifah dilakukan dengan pemilihan. Pemilihan khalifah oleh rakyat merupakan suatu bentuk akad antara dua pihak, yakni antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Dr. Sanhoury (dalam bukunya Le Califat) menegaskan bahwa akad khilafah merupakan akad yang hakiki, sehingga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana lazimnya akad dalam kajian fiqih. Salah satu rukun yang beliau sebutkan ialah keridhaan dari kedua belah pihak. Keridhaan rakyat berarti legitimasi mereka atas khalifah, sementara keridhaan khalifah berarti kesediaan dan keikhlasan khalifah.  Jadi, khilafah pada dasarnya merupakan suatu kontrak sosial.
Secara lebih spesifik, sebagian ulama mengatakan bahwa akad khilafah merupakan akad wikalah (perwakilan, pemindahan kuasa), suatu jenis akad yang sangat populer dalam kajian fiqih. Mereka mengatakan demikian karena khilafah tidak bisa ditetapkan oleh seseorang pada dirinya sendiri, sebagaimana seseorang tidak mungkin mengambil kuasa tanpa pemberian kuasa dari pemilik kuasa. Karena khilafah merupakan akad wikalah, maka segenap konsekuensi wikalah juga berlaku pada khilafah. Diantara konsekuensi tersebut ialah bahwa khilafah tidak serta-merta diwariskan berdasarkan keturunan. Konsekuensi yang lain ialah bahwa turunnya sang khalifah tidak serta-merta menyebabkan turunnya segenap pejabat khalifah yang diangkat oleh rakyat, karena jabatan mereka merupakan akad antara mereka dan rakyat dan bukan antara mereka dan sang khalifah.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akad khilafah tidak bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Alasannya, rakyat tidak bisa seenaknya mencabut kuasanya atas sang khalifah sebagaimana seorang pemberi kuasa bisa sesuka hati mencabut kuasanya.  Disamping itu, khalifah dituntut untuk menunaikan prinsip-prinsip Ilahi yang mana rakyat tidak bisa mengkuasakan kepada khalifah untuk menunaikan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi tersebut.
Dari perdebatan diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa khilafah merupakan suatu akad namun tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai akad wikalah. Meskipun demikian, tidak bisa diingkari bahwa khilafah merupakan perwakilan (niyabah) kaum muslimin, sehingga kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya berasal dari kaum muslimin itu sendiri.
Dari berbagai pendapat para ulama, penetapan khalifah bisa dilakukan melalui berbagai mekanisme sebagai berikut.
Pertama, dengan pemilihan langsung oleh setiap orang (demokrasi langsung).
Kedua, khalifah ditetapkan oleh ahlul hall wal ‘aqd yang mewakili rakyat.
Ketiga, khalifah ditetapkan oleh khalifah sebelumnya.
Mekanisme kedua dan ketiga harus diikuti dengan baiat ‘ammat, yaitu baiat yang dilakukan oleh segenap rakyat terhadap khalifah. Baiat ini merupakan bukti atas keridhaan rakyat terhadap sang khalifah. Jadi, mekanisme apapun yang dipakai harus bisa menjamin bahwa kekuasaan sang khalifah berasal dari rakyat. Lain lagi halnya jika khalifah ditetapkan dengan nash. Karena penetapan ini dianggap sebagai otoritas Tuhan maka rakyat pun tidak berhak untuk campur tangan didalamnya.
Hal penting yang harus dicamkan ialah bahwa orang-orang yang menetapkan sang khalifah harus memenuhi beberapa persyaratan. Inilah yang membedakan antara sistem politik Islam dengan sistem demokrasi liberal. Orang-orang yang dimaksud disini ialah setiap pemilih pada sistem demokrasi langsung, anggota ahlul hall wal ‘aqd, atau khalifah sebelumnya. Imam Mawardi menetapkan tiga persyaratan untuk orang-orang tersebut: 1)Al-‘adalat.  2) Ilmu tentang siapakah yang secara mu’tabar / syar’i berhak menjadi khalifah. 3) Kapasitas intelektual yang memungkinkan seseorang   untuk menetapkan siapakah yang paling tepat secara politis (berdasarkan pertimbangan maslahat ) untuk menjadi khalifah.
Istilah yang juga penting untuk dibahas disini adalah ahlul hall wal ‘aqd. Para ulama mempunyai pandangan yang beragam tentang lembaga ini. Dari berbagai pandangan yang ada, bisa disimpulkan bahwa ahlul hall wal ‘aqd ialah suatu lembaga yang berisi sekelompok orang yang adil yang mewakili segenap wilayah geografis dan keahlian yang relevan. Representasi wilayah geografis dibutuhkan untuk menggalang aspirasi rakyat, sementara representasi keahlian dibutuhkan dalam kaitannya dengan ijtihad kolektif yang berlangsung pada lembaga ini.
Secara etimologis, ahlul hall wal ‘aqd berarti lembaga yang mengurai dan mengikat. Artinya, lembaga inilah yang mengikat (mengangkat) seorang khalifah sekaligus yang mengurai (menurunkan) khalifah apabila perlu. Lembaga ini merupakan kombinasi antara representasi rakyat dan otoritas syariat. Kombinasi inilah yang menjadikan negara Islam berbeda dengan negara demokrasi liberal ataupun negara teokrasi.



Top of Form
Bottom of Form

Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved.