MARI TEGAKAN SUNNAH DAN HEMPASKAN BID'AH !!

Sabtu, 02 Januari 2010

Tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma Tentang Qs. Al Ma’idah:44

Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah.orang-orang yang kafir” (Al-Ma’ idah : 44)
Ayat ini adalah salah satu ayat yang dipakai oleh Kaum Khawarij dalam membolehkannya pengeboman dan aksi-aksi terorisme. Namun, apabila kita pelajari dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar (diakui) maka tidak ada tafsiran bahwa dengan ayat ini adalah pembolehan adanya aksi terorisme. Selamat membaca!


TENTANG TAKFIRI

FATWA ULAMA TENTANG TAKFIR
Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (1)
Oleh alqiyamah pada Berkas. Ditandai:Firqoh, khawarij. Komentar Dimatikan
Penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi
Tidak selayaknya bagi anda wahai faqih (ahli fikih), untuk tergesa-gesa mengafirkan seorang muslim, kecuali dengan bukti yang nyata. Sebagaimana anda tidak boleh berkeyakinan kearifan dan kewalian seorang yang telah nyata kesesatannya, tersingkap batin dan kemunafikannya. Tidak boleh dilakukan ini ataupun itu, yang benar adalah selalu bersikap adil, yaitu: orang yang telah dinilai oleh kaum muslimin sebagai orang saleh dan baik, maka dia demikian adanya karena mereka adalah para saksi Alloh di dunia, dan orang yang dinilai oleh umat Islam sebagai orang yang durhaka, munafik, orang batil, maka dia demikian adanya.
Sedangkan orang yang divonis sesat oleh satu kelompok, sedangkan kelompok lain memuji dan mengagungkannya, dan kelompok lain lagi enggan untuk berkomentar dan berhati-hati, tidak berani untuk mendiskreditkannya, maka kasus seperti ini termasuk polemik yang harus dijauhi, duduk masalahnya kita serahkan kepada Alloh dan dimintakan ampun baginya secara umum. Sebab keislamannya diyakini keberadaannya, sedangkan kesesatannya masih diragukan. Dengan ini anda akan hidup tenang, hati anda suci dari rasa iri terhadap kaum muslimin.


AKHIRNYA AKU MENGENAL HIZBUT TAHRIR

BISMILLAHIRROHMAANIRROHIIM
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah saja, kita memuji-Nya dan memohon pertolongan dan ampunan-Nya dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan diri-diri kita dan dari kejelekan amal-amal kita. Barang siapa telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka tidak akan ada yang sanggup menyesatkannya dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak akan ada yang sanggup memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada Illah kecuali Allah yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”. (QS. Al Imran : 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nissa : 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.
(QS. Al Ahzab : 70-71).

Amma ba’du :
Bahwa sebenar-benar pembicaraan adalah Kitabullah (Qur’an ) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang di ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan didalam neraka.
Ikhwah Fillah yang mudah-mudahan dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, pertama saya meminta maaf jika tulisan ini menganggu fikiran kalian. Insya Allah tulisan ini dibuat bukan untuk membuat ricuh, tapi untuk menjelaskan atau meluruskan pandangan orang-orang yang menuduh saya saat ini, yaitu ketika saya mencoba untuk kritis terhadap pemikiran Hizbut Tahrir yang bertentangan dengan pendapat-pendapat Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang pernah saya baca dari beberapa kitab-kitab milik saya pribadi ataupun dari beberapa artikel yang berisi fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mengenai pemikiran Hizbut Tahrir.
Saya yakin banyak sekali ikhwan dan akhwat yang pernah membaca, mendengar atau memiliki sendiri artikel-artikel da’wah Manhaj Ahlu Sunnah berupa fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ataupun kitab-kitab para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang kini sudah banyak beredar di tengah-tengah kita. Alhamdulillah.
Artikel ini ditulis sebagai salah satu bentuk respon positif atas SMS atau ucapan yang telah saya terima dari beberapa orang aktivis Hizbut Tahrir (Insya Allah saya sudah halalkan), yang intinya lagi-lagi menuduh saya karena perbuatan amar ma’ruf yang saya lakukan. Khususnya ajakan kepada beberapa ikhwan mantan Hizbut Tahrir untuk kembali kepada pemahaman Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam.
Tulisan inipun saya buat bukan untuk kepentingan pribadi atau untuk memuaskan hawa nafsu, karena saya pernah dituduh mengkritik Hizbut Tahrir semata-mata atas kebencian dan rasa iri terhadap Hizbut Tahrir. Tuduhan seperti inipun dilontarkan kepada para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ketika para ulama ini mengkritik pemikiran HIzbut Tahrir. Bahkan ada yang menuduh dengan keji kepada para ulama bahwa mereka mengkritik Hizbut Tahrir dengan tidak memilki ilmu, hujjah dan bukti yang kuat terhadap kekeliruan Hizbut Tahrir dalam berbagai pemikirannya. Padahal kita faham bahwa tidak mungkin para ulama memberikan kritik terhadap sebuah jama’ah tanpa dilandasi ilmu atau tuduhan berdasarkan hawa nafsu semata.
Maka saya adalah salah satu dari sekian banyak “bukti hidup” yang membenarkan fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mengenai berbagai pemikiran Hizbut Tahrir yang pernah saya ikuti hampir selama 3 tahun lebih. Maksudnya, Insya Allah dalam tulisan ini saya akan berusaha untuk menjelaskan pemikiran Hizbut Tahrir yang telah saya fahami, kemudian Insya Allah saya akan mencoba untuk menyesuaikan antara kenyataan yang pernah dialami oleh saya ketika berada di harokah ini dengan fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang ada. Sehingga Insya Allah dengan semata-mata pertolongan Allah mudah-mudahan saya bisa menjadi salah satu “bukti hidup” dari kebenaran fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mengenai kekeliruan pemikiran Hizbut Tahrir yang banyak beredar dimasyarakat kita, khususnya di berbagai Universitas dan perguruan tinggi di negeri kita ini.
Rasa benci itu adalah aktivitas hati dan tentu saja tidak bisa divonis bahwa seseorang itu merasa benci terhadap seseorang atau terhadap harokah tertentu yang dia kritisi, tentu bukan seperti itu. Tapi seharusnya dengan datangnya kritik atau saran dari pihak lain terhadap pemikiran pribadi ataupun pemikiran sebuah organisasi/harokah harus dijadikan cermin untuk bahan introfeksi diri agar menjadi lebih baik. Kita seharusnya membuka telinga dan hati serta berhusnudzhon terhadap orang/ jama’ah lain yang memberikan kritik kepada kita.
Apalagi yang memberikan saran, kritik itu adalah para ulama dengan keilmuan mereka yang luas dan shohih, ataupun sesama muslim, maka seharusnya yang dihadirkan dalam hati kita adalah kata-kata : “mungkin benar apa yang dikatakan oleh saudaraku seiman”, dan tidaklah bijak jika kita mengambil sikap terburu-buru serta menilai semua pihak yang mengkritik “di beri label” dengan sebutan “orang yang benci” atau “orang iri”.
Maka tentu tidak rugi, bahkan berpahala jika kita berprasangka baik terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan bahwa kritikannya itu benar atau salah, tepat dan tidak tepat, tanpa didasari oleh prasangka negatif atas niat seseorang. Padahal niat itu suatu yang ghaib yang berada dalam hati. Mari seharusnya kita renungkan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam :

“ …….mengapa engkau tidak belah hatinya dulu agar engkau mengetahui dia mengucapkannya (dengan benar) atau tidak” (HR. Bukhari dari Usamah Bin Zaid RA)

Dari hadist di atas, maka perlu difahami adakalanya seseorang melakukan sesuatu hal terhadap diri kemudian kita melihat orang tersebut secara dzhohir seperti berniat buruk padahal sebenarnya tidak. Atau sebaliknya, kita melihat seseorang seakan berbuat baik padahal sebenarnya dia didasari niat yang buruk, atau dengan niat penuh kebencian. Ini adalah aktivitas hati.
Hanya diri kita dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tahu kebenarannya. Jika menilai seseorang semata berdasarkan prasangka maka itu tidaklah dibenarkan, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
(QS. An Najm : 28)

Terkecuali ketika kita melihat orang kafir atau non muslim yang melakukan hal yang “terlihat” baik kepada kita. Maka kita harus extra hati-hati karena, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah memperingatkan dengan firmannya :

”Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit”.
(QS. Shaad : 2).

Dari ayat yang mulia ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabarkan melalui Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam mengenai permusuhan orang-orang kafir yang sangat sengit terhadap orang yang beriman. Tentu saja kita harus hati-hati dengan bermuka manisnya orang-orang kafir, karena “di dalam dada-dada mereka” sesungguhnya penuh kebencian dan permusuhan.
Saya yakin kita secara sadar kita memahami hal ini, kita perlu selalu memohon pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar hati kita terjauh dari “penyakit hati” yang berupa prasangka buruk terhadap saudara se-iman yang memberikan kritik kepada diri kita. Apalagi dalam permasalahan da’wah maka harus dicermati dengan baik.
Adanya saran dan kritik dari orang atau dari kelompok lain, merupakan nasihat, bukan mencela. Celaan dan nasihat mempunyai nilai yang berbeda. Saling memberikan nasehat ialah suatu hal yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala wajibkan, agar dengan aktivitas saling memberikan nasehat ini kita sebagai umat Islam pada umumnya mendapat kemenangan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS. Al Ashr : 3)

Bahkan dengan aktivitas saling memberikan nasehat dengan sesama muslim maka kita diberi “gelar” umat yang terbaik seperti apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan :
>“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS Ali Imran : 110)

Jika terdapat perbedaan pendapat dengan nasehat atau kritik/saran yang diberikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun telah memberikan kita cara yang tepat untuk mencari mana yang benar atau salah, yaitu sesuai dengan firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An Nissa : 59.
Dari ayat di atas perlu kita fahami begitu bahayanya apabila terjadi perbedaan pendapat kemudian kita tidak mengembalikan perselisihan ini kepada Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam untuk mencari kebenaran yang kita inginkan.
Lebih baik akibatnya jika kita mengembalikan perselisihan itu kepada Qur’an dan Sunnah . Hal ini bukan hanya sebuah keharusan, akan tetapi merupakan syarat keimanan sempurna seorang muslim. Kitapun faham bahwa setian muslim harus menerima “keputusan” yang ada atau “pernyataan” yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah yang Shohih, meskipun sangat memungkinkan bertentangan dengan pendapat dirinya atau dengan pemikiran kelompok/ harokahnya. Hanya orang-orang beruntung yang mau menerima kebenaran yang terlihat jelas didepan matanya.
Maka kesalahan ynag fatal bagi orang yang mengedepankan perkataannya sendiri yang jauh dari ilmu bahkan perkataan seluruh manusia atau perkataan pimpinan kelompok/harokah manapun daripada Kalamullah (Qur’an ) dan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam.
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari sikap kefanatikan yang berlebihan, yang disebabkan karena hati yang kotor penuh dengan sifat egois/ sombong dan tidak mau menerima kebenaran yang datang kepadanya. Karena mungkin orang yang memberikan kebenaran kepadanya dianggap lemah, miskin, jahil dan lain-lain meskipunmereka adalahpara ulama. Bahkan mungkin karena yang memberikan nasehat bukan dari teman sekelompoknya/ harokahnya, sehingga dirinya tidak merasa wajib “menanggapi” atau menerima kritik/ saran atau nasehat tersebut. Naudzubillahimindzalik.
Hal ini sudah diperingatkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang fanatik kepada orang tertentu, seperti orang yang fanatik kepada Malik, Asy Syafi’I, Ahmad atau Abu Hanifah kemudian meyakini bahwa ucapan orang itu benar dan wajib di ikuti bukannya Imam yang menyelisihinya. Orang yang melakukan ini melakukan tindakan bodoh dan sesat, bahkan bisa jadi kafir. Karena ketika ia meyakini bahwa yang wajib dari manusia adalah meyakini salah satu dari para Imam tersebut dan tidak boleh mengikuti yang lainnya, maka wajib untuk di mintai taubat. Jika ia mau bertaubat maka itu yang diharapkan dan jika tidak mau (bertaubat) maka ia dibunuh”. (lihat dalam kitab Majmu’ Al Fatawa (Jilid 22 halaman 248 -249).

Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ini perlu kita fahami dengan benar, bahwa kebenaran itu tidak mutlak terletak pada seorang ulama, dalam satu harokah, tidak dalam suatu apapun kecuali kebenaran itu mutlak hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Kita sebagai seorang muslim bisa melihat kebenaran ini dengan jelas yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sabda Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang Shohih.
Tentu saja sebagai seorang muslim yang menyebut dirinya “pengemban da’wah Islam” harus faham dan meyakini hal ini dengan benar, karena di khawatirkan dirinya lebih mengajak kepada fanatisme buta terhadap kelompok/ jama’ah da’wahnya atau bahkan kepada dirinya daripada kepada Islam (Qur’an dan Sunnah ) yang kita cintai. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya agar terjauh dari kesalahan yang teramat fatal seperti ini.
Pertanyaannya adalah, “apakah salah jika seorang muslim seperti diri saya membenci terhadap ‘sesuatu hal’ yang ditunjukan Qur’an dan Sunnah yang Shohih ataupun menurut pendapat ulama-ulama yang tsiqoh dan faham akan dien, bahwa ‘sesuatu hal’ tersebut adalah kesesatan”?. Apakah salah jika saya benci kesesatan tersebut?.
Tapi tidaklah kemudian kebencian saya terhadap kesalahan yang ada dalam sebuah jama’ah tertentu membuat saya tidak berbuat adil. Artinya tidaklah kebencian terhadap kesalahan harokah/ jama’ah tersebut membuat saya menuduh membabi buta dan menuduh tanpa bukti, tentu tidak karena saya mengetahui bahwa perbuatan seperti itu adalah sebuah kedzhaliman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(QS. Al Maaidah : 8)
Kebencian saya terhadap Hizbut Tahrir adalah kebencian terhadap pemikiran-pemikiran yang keliru yang terdapat dalam pemikiran Hizbut Tahrir yang bertentangan dengan Islam yang telah dijelaskan oleh para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala saat ini saya sudah tidak lagi berada dalam jama’ah Hizbut Tahrir. Memang saya “dikeluarkan” dan “ditinggalkan” oleh “mereka”, karena dianggap bersalah serta menentang. Hal ini disebabkan karena saya mengajukan protes kepada “mereka”, ketika saya melihat ketidakadilan dalam sikap “pimpinan” cabang harokah ini.
Maka ketika saya sudah berada “diluar lingkaran” Hizbut Tahrir, Allah Sunhanahu wa Ta’ala mentakdirkan saya mengenal Manhaj yang lurus, penuh ilmu serta pemahaman shohih, bebas dari taklid, taashub dan jauh dari fanatik mazhab atau golongan/harokah, karena yang dituntut untuk difahami adalah Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama Salaf (Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in). Yaitu Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Tentu bukan disini saatnya untuk menerangkan apa itu Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Tetapi bukan berarti saya tidak mampu untuk menjelaskan atau tidak faham, Insya Allah saya bisa menjelaskan sesuai dengan kemampuan saya di lain kesempatan, jika memang ada orang yang menginginkan penjelasan hal ini.
Ikhwan fillah ada nasehat kecil mudah-mudahan bermanfaat untuk diri saya khususnya dan mudah-mudahan untuk kita semua.
Mari kita belajar untuk mendewasakan diri dan belajar kritis. Jauhkan diri kita dari sikap taklid dan taashub (fanatik terhadap kelompok) dan menutup diri dari pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan kelompok/ harokah kita. Meskipun mereka adalah para ulama yang berhujjah dengan Qur’an dan Sunnah yang shohih. Janganlah kita terburu-buru menuduh orang lain yang memberikan kritik terhadap diri kita, organisasi/ Harokah kita, semua itu dilakukannya atas dasar benci seperti yang sudah berlaku dituduhkan terhadap saya atau bahkan kepada para ulama yang seharusnya kita muliakan karena jasa-jasa mereka mendidik umat ini agar senantiasa berada dalam keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Masya Allah, begitu naïf diri kita apabila merasa tidak punya kekurangan, atau kesalahan. Apakah kita sudah belajar ke seluruh ulama di muka bumi ini sehingga begitu sulit menerima saran dan kritik dari orang lain bahkan kritik dari para ulama besar yang memberikan kritik dengan berhujjah dengan Hujjah yang Shohih dan ilmu yang benar?. Sudahkah hafal beribu-ribu hadist dan hafal 30 Juz Qur’an berserta Tafsirnya dengan baik ?. Ini tidak mungkin, dan secara nyata tidak ada seorangpun yang tidak terjerumus akan dosa dan kekurangan atau kesalahan meskipun dia adalah seorang ulama ynag faqih yang faqih akan dien, karena seorang hamba Allah tidak akan pernah luput dari kesalahan dan dosa sebagaimana manusia pada umumnya.
Kecelakalah besarorang-orang yang merasa dirinya suci dan merasa terbebas dan jauh dari kesalahan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih (suci)? sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun”. (QS. An Nissa : 49).

Maka adalah sikap tawadhu yang harus di utamakan tidak seharusnya kita bersikap takkabur atau sombong jika ada orang lain yang memberikan saran/ kritik yang baik kepada kita atau organisasi/ harokah kita.
Ikhwah Fillah, Janganlah ada fikiran dalam diri kita bersikap picik dan tidak adil. Kita bisa melihat ada disebagian dari umat Islam atau harokah Islam sering demontrasi, orasi dijalan-jalan dengan menggembar-gemborkan (menebar aib) kesalahan pemerintah/ penguasa di depan khalayak ramai. Dimanapun mereka melakukan hal tersebut, seperti di mimbar jum’at, kantor hingga pelosok tempat, padahal penguasa-penguasa mereka diantaranya banyak dari kaum muslimin.
Akan tetapi kenapa pada saat ada / organisasi/ harokah ataupun muslim yang lain bahkan dari kalangan para ulama besar mengkritik terhadap pemahaman “mereka” ini, atau mengkritik harokahnya karena “mungkin” ada pemahaman atau pemikiran yang “dinilai” tidak sesuai dengan Islam, mereka malah berbalik menuduh dengan tuduhan yang didasari prasangka semata.
Maka apakah pantas jika kemudian mereka terburu-buru melindungi dirinya dengan “Tameng Suudzhon” dan “menembakan peluru-peluru tuduhan” kepada orang yang hendak memberi saran dan kritikan kepada mereka, padahal yang memberikan saran/ kritik adalah seorang muslim saudara se-iman?, bahkan para ulama besar?. ini tidaklah benar.
Apakah ini bentuk ketakutan dari seseorang/ harokah yang khawatir “boroknya” ketahuan orang?, atau mungkin orang-orang seperti ini terlalu banyak didalam kepala mereka dengan kesalahan orang lain?, atau mungkin didalam hati mereka terlalu disibukan oleh menebar dan mengorek kesalahan orang lain sehingga lupa akan kesalahan sendiri. Naudzubillahimindzalik
Benarlah seperti kata pepatah :
“Semut diseberang lautan kalian lihat dengan jelas, tapi gajah di pelupuk mata tidak kalian lihat”
Kalau memang merasa pemahaman kita tidak salah maka keluarkan argument atau hujjah yang kita pelajari di harokah/ kelompok/ jama’ah tempat kia belajar.
Bukankah kita belajar di harokah/ kelompok/ jama’ah tersebut? atau hanya ikut-ikutan saja?. Jika memang kita tidak bisa mengeluarkan dalil atau hujjah dengan baik, maka “lapangkanlah dada” kita, kemudian berhusnudzhon kepada orang yang memberikan saran/ nasihat/ kriik terhadap diri kita apalagi sara tersebut dari para ulama ynag hendak membimbing kita menuju ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa . seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih akan hal tersebut.
Pengalaman pribadi mudah-mudahan bisa jadi contoh.
Demi Allah pada waktu saya pertama kali berangkat ta’lim ke salah satu jama’ah berManhaj salafusholih (mudah-mudahan dada kita tidak merasa sesak ketika kita mendengar nama harokah atau golongan/ jama’ah lain disebut. Amiin) di dalam fikiran saya saat itu pernuh dengan prasangka buruk terhadap jama’ah ini, karena di dalam otak saya telah cukup lama “ditanamkan” oleh “ustadz-ustadz” Hizbut Tahrir tempat pertama kali saya belajar Islam. Padahal “ustadz-ustadz” ini tidak tahu persis apa itu Manhaj salaf , ikut ta’lim di jama’ah berManhaj salaf ini pun mereka belum pernah, tapi kemudian “ustadz-ustadz” muda berbakat ini “menuduh dan memahamkan kepada “para daris” yang sedang mereka “didik”, dengan tuduhan-tuduhan bermacam-macam.
Tuduhan-tuduhan terhadap jama’ah berManhaj salaf ini juga kemungkinan besar ada di dalam pemahaman para ikhwan Hizbut tahrir pada umumnya saat ini, Wallahu alam, mudah-mudahan tidak.
Karena adanya “prasangka buruk” dalam diri saya pada saat itu, maka jujur saja saya berangkat dengan perasaan yang berat dan campur aduk. Bukan karena merasa malas tapi karena semata-mata “prasangka buruk” yang masih kuat ada didalam pemahaman saya.
Alhamdulillah, karena petolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata didalam hati saya saat itu masih “merasa” wajib menuntut ilmu. Pada waktu itu saya sudah dikeluarkan dari Hizbut Tahrir sehingga tidak di ikut sertakan kajian, tidak di undang lagi ikut acara-acara Hizbut Tahrir, bahkan ketika itu saya di “diamkan”/ “Hajr” oleh “mereka”, bersama seorang ikhwan yang terkena hukuman yang sama karena dianggap bersalah.
Dengan berat hati dan fikiran jelek tentang Manhaj salaf , saya berdo’a dan berusaha untuk meluruskan niat hanya ingin ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala di ikuti perasaan khawatir lalai meninggalkan kewajiban menuntut ilmu syar’I ynag diwajibkan kepada setiap muslim. Sayapun akhirnya berangkat ta’im dan berusaha husnudzhon kepada pemahaman Manhaj salaf ini. Alhamdulillah akhirnya saya menyatakan untuk ingin belajar dan berdo’a agar senantiasa istiqomah dalam Manhaj ini. Semua ini semata’mata nikmat dan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Akan tetapi perlu antum fahami bahwa keputusan yang saya buat ini bukan keputusan yang diambil dalam waktu satu atau dua hari atau dalam waktu sebentar. Akan tetapi keputusan ini saya yakini kebenarannya setelah saya mengkaji, diskusi dengan ustadz-ustadz yang memberikan materi pada waktu saya mulai ta’lim di jama’ah berManhaj salaf ini.
Saya yakin ustadz-ustadz tersebut Insya Allah mempunyai ilmu dien yang luas yang mereka dapatkan selama mereka “mondok” bertahun-tahun di pesantren-pesantren. Bahkan diantara mereka ada yang pernah mendalami Ilmu dien ini di Timur tengah, seperti ke Yaman atau ke Madinah yang mana kita tahu disana banyak terdapat para ulama besar yang selalu menjadi rujukan para pengemban da’wah Islam. Sehingga menurut saya memang sudah sepantasnya apabila sebutan ustadz “disematkan” kepada mereka, karena pemahaman ilmu mereka seperti ilmu hadist , tafsir, dan lain lain. Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjaga mereka. Amiin.
Alhamdulillah, ustadz-ustadz berManhaj salaf yang saya kenal ini lebih mengedepankan hujjah yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang Shohih. Sayapun sering mendengar dari mereka pendapat ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang berada dalam kitab-kitab ulama-ulama besar dari kalangan Ahlu Sunnah , seperti seperti para Imam mahzab. Mereka pun dalam memberikan penjelasan atau memberikan materi mengenai Islam kepada orang-orang yang hendak belajar kepada mereka selalu bersumber dari berbagai kitab para ulama besar yang dikenal tsiqoh dikalangan umat Islam secara luas. Seperti contohnya kitab Syarah Bukhari-Muslim atau tafsir Ibnu Katsir atau tafsir Ibnu Abbas RA dengan uraian yang jelas dan ilmiah.
Sehingga banyak pelajar termasuk saya berusaha memanfaatkan setiap kesempatan ketika ta’lim atau diskusi dengan ustadz-ustadz untuk lebih memdalami Islam. Dalam bebeapa kesempatan sayapun diskusi dengan ustadz-ustadz tersebut terutama tentang pemahaman keliru saya terhadap Manhaj salaf yang masih ada dalam otak saya, hasil “didikan” ustadz-ustadz muda berbakat dari Hizbut Tahrir,.
Jujur saja sebenarnya banyak gelar “ustadz” yang disematkan kepada aktivis Hizbut Tahrir bukan karena mereka mempunyai pemahaman mendalam secara ilmu dien, tapi karena di Hizbut Tahrir dibiasakan agar kepada setiap ikhwan atau akhwat satu harokahnya untuk saling memanggil dengan sebutan “ustadz/ustadzah” di depan masyarakat awam.
Hal ini pernah saya alami, dan sekali lagi bahwa sebutan “ustadz/ustadzah yang “disematkan kepada mereka bukan karena keilmuan yang luas atau faqih dalam ilmu dien tetapi semata-mata agar umat percaya kepada mereka bahwa mereka adalah “ustadz-ustadz’ yang berilmu luas sehingga masyarakat dengan mudah menerima da’wah mereka.
Dalam kenyataannya banyak diantara aktivis Hizbut Tahrir yang di panggil dengan gelar “ustadz” ini masih belum mampu membaca Qur’an dengan baik atau masalah fiqih ibadah misalnya sholat masih banyak kekurangannya. Saya banyak melihat banyak diantara aktivis Hizbut Tahrir yang dipanggil dengan sebutan atau gelar “ustadz” sering mengakhirkan waktu sholat . Bahkan diantara mereka jarang melaksanakan sholat dimesjid secara berjama’ah, karena mereka berpendapat bahwa hal tersebut adalah Sunnah (tidak wajib), sehingga mereka tidak merasa “berat hati” ketika meninggalkan sholat berjama’ah di mesjid.
Padahal kita fahami bahwasannya hukum sholat berjamaah itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, seperti yang dijelaskan oleh para ulama yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, kecuali bagi yang mempunyai udzur :
Dari Abu Hurairoh RA, Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYa, sungguh saya hendak menyuruh untuk dicarikan kayu bakar, saya (Rasulullah) akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan sholat, lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk sholat (berjama’ah) kehudian saya akan menyuruh sahabat lain agar mengimami mereka, kemudian aku (Rasulullah) akan berkeliling memeriksa orang-orang yang tidak sholat berjama’ah, kemudian akan aku bakar rumah-rumah mereka, demi Dzat yang aku berada di tanggan-Nya andaikata seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua paha unta yang baik, niscaya dia akan sholat Isya (berjama’ah”). (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari jilid 2 no : 644 dan lafazh ini lafazh Muslim I : 251. Lihat kiab fiqih Al Wajiz tentang bagaimana hukum sholat berjama’ah).
Ancaman kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bagi orang yang meninggalkan sholat jama’ah dengan sengaja tanpa udzur. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ibnu bahwasanya keduanya mendengar Nabi bersabda :
“Hendaklah kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat jama’ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka. Kemudian jadilah mereka orang-orang yang lala”i. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-Nya Abwabul Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf 'Anil Jama’ah, no. 778, 1/142-143; dishahih kan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132).
Dalam hadist ini cukup jelas AllahSubhanahu Wa Ta’ala akan menutup hati orang-orang yang senantiasa meninggalkan sholat berjama’ah tanpa udzur, hukuman ini sangat menakutkan sekali bagi orang yang senantiasa “butuh” hidayah Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:

“Kalau saja seseorang dipanggil untuk makan sop tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya. Sedangkan jika mereka dipanggil untuk shalat berjama’ah, mereka tidak mendatanginya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat jama’ah bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan adzan, tapi tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. Sungguh tidaklah meninggalkan shalat jama’ah, kecuali munafiq”. (Berkata al-Haitsami: "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Aushath).
Dalam berbagai hadist yang diriwayatkan oleh para ulama, banyak sekali ancaman bagi orang-orang yang sholat berjama’ah di mesjid tanpa adanya udzur. Hadist -hadist tersebut cukup untuk memahamkan kita begitu besar dosa bagi orang yang meninggalkan sholat berjama’ah di mesjid.
Ketika ada sebagian orang yang mengatakan “kenyataannya RasulullahShalallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak pernah membakar rumah-rumah orang yang tidak sholat berjama’ah dimesjid pada waktu itu”. Perlu diketahui ancaman Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam akan membakar rumah bagi orang yang tidak sholat nya berjama’ah di mesjid tidak beliau lakukan karena Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam melihat adanya wanita dan anak-anak dalam rumah-rumah mereka.
Tidak mungkin Rasululllah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam berbohong dengan ancaman beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam. Tidak jadinya hukuman akan diberikan oleh beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam terhadap orang yang tidak sholat berjama’ah di mesjid bukan berarti menggugurkan syariat wajibnya sholat jama’ah di mesjid, melainkan karena rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap anak-anak dan wanita yang ada dalam rumah-rumah orang yang tidak sholat berjama’ah di mesjid. Andaikan didalam rumah mereka tidak ada anak-anak dan wanita tentu Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam akan membakar rumah-rumah mereka sebagai bentuk hukuman bagi siapa saja yang meninggalkan sholat berjama’ah di mesjid tanpa uzur seperti yang telah beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam ancamkan. Wallahu ‘Alam Bishawab.
Diantara muslim banyak bekata atau meyakini perkara ini hukumnya adalah Sunnah (meskipun mereka menyelisihi pendapat ulama), maka jika memang menurut mereka demikian, kita katakan kepada mereka. “Maka akankah kita meninggalkan Sunnah -Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang agung dan mulia?. Apakah karena hal tersebut hukumnya (menurut kalian) Sunnah sehingga dengan mudah kita meninggalkannya begitu saja?. Ataukah kita hendak menjadi orang-orang yang meninggalkan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam sejengkal demi sejengkal sehingga kitapun melupakan Sunnah -Sunnah beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang mulia?”. Naudzubillahimindzalik . Sungguh kecelakaan bagi orang tidak memuliakan Sunnah -Sunnah beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam .
Saya mengakui (karena saya berusaha bersikap adil), memang ada beberapa aktivis Hizbut Tahrir merupakan lulusan dari berbagai pesantren Ssehingga diantara mereka mempunyai pemahaman ilmu dan bahasa arab yang cukup baik, dan wajar bila “disematkan” gelar “ustadz” kepada mereka. Akan tetapi kebanyakan dari mereka yang disebut “ustadz”, jauh dari keluasan ilmu, bahkan apabila harus saya katakan, ikhwan yang baru “belajar ngaji” beberapa bulan saja sudah “disematkan” gelar “ustadz” hal ini semata-mata bukan karena orang tersebut memahami ilmu dien yang luas, tapi karena pembiasaan saja dan agar umat percaya terhadap setiap aktivis Hizbut Tahrir.
Bahkan pengalaman saya ketika masih “aktif” di Hizbut Tahrir, banyak ikhwan yang baru belajar beberapa bulan “dipaksa” untuk tampil di mimbar-mimbar mesjid, mengisi ta’lim rutin atau kultum menjelang tarawih di mesjid masyarakat, padahal secara ilmu dan adab mereka masih belum faham. Seharusnya hal ini tidak terjadi karena dikhawatirkan orang yang baru belajar mengenal dan mempelajari Islam seperti ini lebih mengedepankan hawa nafsu dan bermodalkan semangat saja daripada ilmu yang benar dalam berda’wah dan dalam menyampaikan agama yang mulia ini kepada masyarakat luas. Bukan saya menjelek-jelekan Hizbut Tahrir, tapi inilah kenyataannya dan hanya orang-orang yang jujur yang mengakui hal ini.
Saya mendapat “pengakuan” dari seorang ikhwan yang saya kenal, ketika dirinya pernah diskusi dengan beberapa aktivis Hizbut Tahrir kemudian “ustadz-ustadz” Hizbut Tahrir ini “disodorkan” kitab Syarah Hadist Arbain An Nawawi yang masih dalam bahasa Arab. “Ustadz-ustadz” muda berbakat Hizbut Tahrir ini pun kalang kabut dan kebingungan, karena mereka tidak mengerti bahasa arab. Masya Allah, padahal “ustadz-ustadz” yang “kebingungan” ini termasuk petinggi-petinggi Hizbut Tahrir di daerah saya. Ada seorang ikhwan yang bisa menjadi saksi dan dia telah menceritakan hal ini kepada saya.
Mungkin ada orang yang hendak bertanya kepada saya, kenapa kebencian saya kepada jama’ah yang berManhaj salaf ini berubah menjadi “cinta”?. Jawabannya adalah dikarenakan hujjah dan dalil difahamkan oleh jama’ah berManhaj salaf ini lebih Shohih, lebih ilmiah. Sebagai contoh apabila menafsirkan salah satu ayat dari Al Qur’an maka tafsirnya yang digunakan adalah penafsiran dari kitab-kitab tafsir yang shohih dan mu’tabar (diakui) oleh semua kalangan, seperti tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ibnu Abbas dan kitab-kitab mu’tabar (di akui) dikalangan ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Dalam jama’ah berManhaj salaf ini ilmu dien yang dikaji berasal dari kitab-kitab ulama besar dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang telah di akui oleh umat, seperti kitab-kitab yang pernah saya sebutkan sebelumnya. Bukanlah berasal dari kitab-kitab yang tidak dikenal dikalangan umat dan dikalangan ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, sehingga masih penuh subhat, malah kenyataannya banyak bertentangan dengan pendapat ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan ulama salaf , dan tentu ini berbahaya sekali karena sangat dekat dengan fitnah dan kesesatan.
Alhamdulillah, saya mendapatkan penjelasan mengenai berbagai hadist secara jelas dan lengkap, dengan periwayatnya dan syarah hadist -nya yang dijelaskan oleh ulama-ulama ahli hadist yang tsiqoh. Jujur saja banyak hal yang membuat hati dan fikiran saya merasa yakin bahwa Manhaj ini adalah benar.
Contohnya ketika saya melihat kesungguhan ikhwan ataupun akhwat yang belajar dalam Manhaj salaf ini dalam beberpegang teguh untuk menjalankan Sunnah -Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam . Hal seperti ini hampir tidak pernah saya lihat ada dalam ikhwan ataupun akhwat Hizbut Tahrir ketika saya belajar bersama mereka kecuali hanya satu dan dua orang saja.
Saya sendiri pernah menjadi tertawaan atau di olok-olok Ikhwan -ikhwan Hizbut Tahrir ketika saya berusaha menjalankan Sunnah -Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, seperti memelihara jenggot dan meninggikan celana saya diatas mata kaki. Saya merasa heran mengapa mereka (aktivis Hizbut Tahrir) tidak merasa risih dengan “gaya” atau penampilan mereka yang lebih condong tasyabuh bil Kuffar daripada ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, seperti memakai celana Levis atau mengenakan pakaian-pakaian yang sering digunakan oleh pemuda-pemuda kafir di negara kafir seperti Amerika yang selalu mereka kecam dengan lantang dan keras, ataupun pakaian yang sering kita lihat dipakai oleh pemuda-pemuda “gaul” yang menghabiskan waktunya untuk mengikuti adat dan kebiasaan orang-orang kafir Laknatullah ’alaih. Naudzubillah. Mengapa demikian ?, bukankah mereka seharusnya menjadi teladan terlebih dahulu dalam melaksanakan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam sebelum mereka mengajarkannya kepada umat?.
Saya yakin mereka (aktivis Hizbut Tahrir) hafal dan tahu persis hadist Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam : “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka". (HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabran). Seharusnya kita harus lebih semangat untuk belajar “mengikuti” Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dalam hal apapun daripada “meniru” kebiasaan-kebiasaan orang kafir yang dilaknat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Salah seorang sahabat RasulullahShalallohu ‘alaihi Wa Sallam yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu menolak persaksian orang yang mencabuti jenggotnya. Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: "Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci." Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam adalah seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir). Dalam riwayat lain disebutkan: "Tebal jenggotnya" dalam riwayat lain: "Banyak jenggotnya", maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil -dalil umum yang melarangnya.
Sungguh mengherankan jika saya lihat banyak orang yang menyebut dirinya “aktivis Islam” dan mereka adalah orang-orang yang begitu semangat dalam da’wah meskipun mereka masih perlu banyak belajar seperti diri saya dan muslim pada umumnya, akan tetapi diantara mereka banyak yang menyepelekan atau menganggap remeh Sunnah -Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, seperti memelihara jenggot, sholat berjama’ah di mesjid, ataupun perkara-perkara lainnya yang senantiasa mereka remehkan karena mereka fahami bukan wajib hukumnya sehingga dengan mudah ditinggalkan begitu saja.
Maka saya nasehatkan kepada diri saya pribadi dan para penuntut ilmu semua yang sama-sama masih perlu banyak belajar seperti saya, Kita katakan kepada mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh” .
Pada suatu saat Imam Malik pernah ditanya dengan satu pertanyaan, kemudian beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya terheran-heran dan berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepale (remeh), dan aku bertanya tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang amir (penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau katakan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (kemudian Imam Malik membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala) :

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat” .(QS. Al Muzzamil : 5).

Kemudian Imam Malik berkata “Oleh karena itu seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan dipertanyakan pada hari kiamat”. (Tartibul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184; Lihat Dlarurarul Ihtimam bis Sunnatin Nabawiyyah, hal.118).
Perhatikanlah ucapan Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini semuanya penting dan berat karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Maka pantaskan diri kita yang masih “bau kencur” dalam memahami agama ini lantas berkilah, “ini hal yang remeh dan boleh di tinggalkan, dan ini adalah hal yang utama sehingga kau boleh melupakan dan meninggalkan hal yang dianggap remeh untuk menjalankan yang penting tadi”, tanpa kemudian memahami secara mendalam kaidah-kadiah ilmu seperti yang difahami oleh para ulama. Apakah kita lebih pandai daripada para ulama?. Sungguh kita harus menjauhi sikap seperti ini.
Bukankah kita secara sadar bisa melihat keadaan umat Islam saat ini sedang dalam keadaan “dihinakan” oleh orang-orang kafir laknatullah ‘alaih, hal ini bisa saja terjadi disebabkan karena diri-diri kita mulai meremehkan ajaran Islam ini seperti meremehkan Sunnah -Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam .
Bahkan bagitu banyak umat Islam saat ini pada akhirnya lebih menyukai dan berjuang keras untuk melaksanakan “kebiasaan” orang kafir laknatullah ‘alaih daripada Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang mulia ini. Saya mengajak kepada diri saya peribadi khususnya dan kepada semua pelajar Islam, mari kita muliakan Sunnah Rasuullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dengan mengenalinya, mempelajarinya dan melaksanakannya sesuai dengan kemampuan kita.
Janganlah menganggap remeh hal yang mulia ini jika kita tidak ingin dikatakan sebagai orang yang memusuhi Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam . Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar kita dijadikan sebagai hamba-Nya yang senantiasa berusaha menjalankan Sunnah -Sunnah Rasul-Nya yang kita cintai yaitu Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam . Amiin.
Karena banyak faktor-faktor seperti inilah inilah akhirnya saya menyatakan dan memutuskan untuk belajar dan berusaha istiqomah di dalam jama’ah yang berManhaj salaf ini. Semua ini karena semata-mata Hujjah yang shohih dan pemahaman yang shohih yang berasal dari Qur’an dan Sunnah Shohihah yang difahami oleh ulama Salaf (terdahulu) yaitu Para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in baik dalam segi Aqidah , Da’wah, Akhlaq dan Ibadah.
Sebuah keharusan yang harus kita fahami bersama bahwa berpegang teguh kepada Manhaj Salaf atau mencontoh dan mengikuti pemahaman para ulama salaf dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in adalah cara sebenar-benarnya menjalankan ¬dien yang kita cintai ini. Karena sudah terbukti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala ridho terhadap mereka (para ulama salaf) dan hamba-Nya yang mengikuti jejak mereka (ulama salaf ) dengan baik. Seperti dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At Taubah : 100).
Akan tetapi seperti yang saya katakan di awal bahwa bukan disini saatnya untuk menerangkan apa itu Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Kemudian yang ingin saya tanyakan adalah, “apakah saya salah jika menyerah dan tunduk untuk menerima pemahaman yang sesuai denganHadist shohih dan Tafsir Qur’an yang benar”?. Apakah sikap saya ini keliru?, sehingga semua pemikiran Hizbut Tahrir pun sedikit demi sedikit “terhapus”. Apakah terhapus oleh hawa nafsu atau kebencian?, Insya Allah tidak, semua ini bukan karena kebencian, ternyata buktinya saat pertama saya akan “ngaji” ke salah sau jama’ah berManhaj salaf , saya masih “memiliki” pemahaman Hizbut Tahrir, bahkan pada saat saya diskusi dengan ustadz-ustadz berManhaj salaf ini, didalam otak saya masih penuh dengan pandangan jelek terhadap jama’ah berManhaj salaf, seperti yang telah ditanamkan di otak saya oleh “ustadz-ustadz” berbakat dari Hizbut Tahrir.
Alhamdulillah berkat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang menunjukan kepada saya adanya hujjah dan dalil yang kuat pada pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Secara otomatis padangan jelek terhadap Manhaj salaf pun “luluh lantak”, karena setelah saya diskusi dengan ustadz-ustadz berManhaj salaf dan membaca berbagai kitab rujukan serta artikel-artikel yang berisi fatwa-fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah , akhirnya saya mengetahui bahwa semua itu hanya tuduhan dan tidak mendasar sama sekali.
Jika ada yang bertanya apakah saya belum cukup faham tentang pemahan Hizbut Tahrir dan dikarenakan belum pernah mengkaji kitab Hizbut Tahrir?, atau karena saya belum menjadi “anggota” Hizbut Tahrir?, seperti yang dituduhkan beberapa orang kepada saya. Maka saya katakana, bukankah saya beberapa kali di ulang “kajian” beberapa kitab karena dihukum?. Sepeti kitab Nidzhomul Islam dan Takattul Lil Hizby, dan bukankah saya juga membaca kitab-kitab karangan “ustadz-ustadz” Hizbut Tahrir seperti aktivis Hizbut Tahrir pada umunya pada saat saya masih “bersama” mereka?.
Sayapun mengikuti kajian di Hizbut Tahir hampir hampir 4 tahun lamanya. Sayapun sering mendengar ucapan-ucapan atau “fatwa-fatwa’ yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir baik dalam buletin, majalah atau dalam acara-acara Hizbut Tahrir yang sering saya ikuti dulu?. Beberapa ikhwan yang jujur dari Hizbut Tahrir bisa menjadi saksi hal tersebut.
Dikeluarkannya saya dari Hizbut Tahrir oleh mereka bukan karena saya belum faham tentang Hizbut Tahrir tapi karena saya dianggap bersalah karena pada waktu itu, karena sikap protes terhadap “pimpinan cabang” yang saya lihat tidak adil. Saya juga dikeluarkan karena selama 3 tahun lebih belum bisa merekrut orang lain untuk menjadi kader Hizbut Tahrir. Ini salah satu alasan yang sampaikan dari salah seorang “ustadz muda” Hizbut Tahrir yang dulu pernah “membina” saya sebagai salah satu ”daris”nya, ketika saya bertanya mengapa saya dihukum kemudian “dikeluarkan” oleh hizbut Tahrir dari kajian?. Seorang ikhwan bisa menjadi saksi dalam hal ini. Jadi saya cukup faham dan cukup jelas bagaimana pemahaman Hizbut Tahrir. Insya Allah.
Dari kisah sederhana di atas mudah-mudahan ada hikmah dan pelajaran. Sekali lagi saya ingin meluruskan bahwasannya saya mengkritik pemahaman Hizbut Tahrir adalah sesuatu yang sangat wajar, karena saya tahu persis dimana letak kesalahannya yang telah dijelaskan oleh para ulama AhluSunnah Wal Jama’ah dengan sangat jelas dan ilmiah.
Saya pun mempunyai argumen yang kuat yang saya dapatkan ketika saya bandingkan pendapat/ pemikiran Hizbut Tahrir dengan pendapat para ulama terutama para ulama terdahulu dari kalangan ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bahkan saya lihat banyak sekali pemikiran Hizbut Tahrir yang bententangan dengan Ijma’ para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sehingga ini bukanlah tuduhan seperti yang dikatakan beberapa orang, dan hal inipun bisa kita lihat dari artikel-artikel yang berisi fatwa-fatwa para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang bisa kita dapatkan dengan mudah. Alhamulillah.
Dan inilah beberapa contoh dari kesalahan Hizbut Tahrir yang saya ketahui sendiri dan dari penjelasan beberapa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam beberapa kitab yang telah mereka tulis atau fatwa-fatwa yang telah mereka berikan :
Dalam masalah Aqidah :
Menurut Hizbut Tahrir : Iman adalah “Tashdiq al Jazm: (pembenaran dalam hati semata) dan Hizbut Tahrir mengatakan iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, dan jika berkurang 0,001 % saja keimanan pada diri seseorang mereka mengatakan bahwa orang tersebut telah kafir. Ini adalah pemahaman Murji’ah bahkan Khawarij yang sesat sehingga memisahkan amal dengan iman. Ini pemahaman saya dulu ketika di Hizbut Tahrir (dan saya bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruan saya ini.)
Ternyata pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang salah dan sesat karena ternyata bertolak belakang dengan definisi iman menurut apa yang dijelaskan oleh para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, bahkan bertentangan dengan ijma’ ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang pernahsaya baca dalam kitab tafsir yang saya miliki. Para ulama berkata :
“iman adalah ucapan perbuatan bertambah dan berkurang”. Ini adalah pendapat para ulama dan sudah menjadi ijma’ (Iman Syafi’I, Imam ahmad bin Hambal, Abu ubaidah), Lihat dalam kitab Syahru Muslim atau dalam terjemahan kitab Ibnu Katsir juz ke 1 hal 48 dalam tafsir surat Al Baqarah ayat ke 3.
Dalam kitab Fathul Baari dijelaskan : Diriwayatkan dari kitab Sunnah dari Imam Syafi’I Rahimahullah dan Imam Ahmad bin Hambal Serta Ishaq Bin Rahawaih juga Abu Ubaid dan ulama lainnya. Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Bukhari dengan Sanad Shahih bahwa imam Bukari pernah mengatakan “saya sudah menemui seribu ulama dari berbagai penjuru, namun saya tidak menemukan satupun dari mereka yang berbeda pendapat bahwa “iman adalah perkataan, perbuatan bertambah dan berkurang”. (lihat Fathul Baari dalam kitab Iman/ Syarah Hadist sabda Nabi Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam “dasar Islam ada 5 perkara”). Ibnu Abi Hatim menjelaskan tentang periwayatan hal tersebut dengan sanad-sanad dari para sahabat dan Tabi;in serta semua ulama yang mengadakan Ijma’ (Konsensus). Insya Allah Kitabnya ada di saya jika sebagai bukti !.
Dalam beberapa ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang menerangkan bahwa keimanan ini bertambah dan berkurang, yaitu :

“Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira”. (QS. At Taubah : 124).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. AL Fath : 4).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk Jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al kitab dan orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia”. (QS. Al Mudatsir : 31).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :

“Dan apabila kepada mereka dibacakan ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka.” (Al-Anfal : 2)
Kemudian Mu'adz Radhiallohu ‘Anhu pernah berkata kepada kawan-kawannya, "Duduklah di sini bersama kami sesaat untuk menambah keimanan kita." (kitab Shahih Bukhari tentangg Bab Iman).
Masih banyak dalil yang lainnya yang kuat dan shohih, yang saya baca langsung dari kitab terjemahan baik kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid, Syarah Hadist Bukhari-Muslim, Fathul Baari jilid 1-3 atau kitab-kitab karangan Ulama Ahlu Sunnah Kontemporer seperti Syaikh Al Bani Rahimahullah , Syaikh Muqbil rahimahullah atau Syaikh Sholeh Fauzan Rahimahullah . Silahkan jika perlu saya bawa kitabnya sebagai bukti bahwa saya mencoba meluruskan pemahaman Hizbut Tahrir semata-mata berdasarkan pemahaman ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bahkan ada yang secara Ijma’. Bukanlah berasal dari lisan saya masih perlubelajar banyak mengenai Islam.
Ini salah satu kesalahan Hizbut Tahrir diantaranya menyelisihi Ijma Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah Aqidah /Keimanan. Maka saya memutuskan dengan sadar dan tidak terpaksa untuk tidak mau ikut-ikutan harokah/ kelompok yang menyalahi Ijma’ ulama seperti Ijma’ Ulama yang didalamnya terdapat ulama-ulama yang tsiqoh dan terpercaya secara ilmu dikalangan umat Islam secara umum.
Ulama-ulama tersebut seperti Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), Imam Syafi’I, Imam Ahmad Bin Hambal.
Bukti dan hujjah ini cukup kuat untuk saya sehingga saya mengatakan Hizbut Tahrir keliru dalam masalah Aqidah . Hal ini juga yang dielaskan oleh beberapa ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah kontemporer dalam fatwa-fatwa mereka yang sudah banyak beredar, seperti Syaikh Al Bani Rahimahullah, seorang Ulama ahli hadist dan mujaddid abad ini, ataupun Syaikh Ustaimin Rahimahullah , Syaikh Sholeh Fauzan dan ulama lainnya.
Sehingga saya sebagai seorang pelajar yang sangat sedikit sekali memahami ilmu dien, dengan segala kerendahan hati, saya lebih menerima dan membenarkan perkataan ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang saya sebutkan diatas. Baik itu ulama dari kalangan ulama terdahulu seperti Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), Imam Syafi’I, Imam Ahmad Bin Hambal dan ulama lainnya. Ataupun dari kalangan ulama kontempoer seperti Syaikh Al Bani Rahimahullah seorang Ulama hadist dan mujaddid abad ini, ataupun Syaikh Ustaimin Rahimahullah , Syaikh Muqbil rahimahullah, Syaikh Sholeh Fauzan dan ulama dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang kita cintai.
Kesalahan dalam perkara Aqidah ini adalah kesalahan yang sangat fatal karena masalah Aqidah termasuk masalah pokok sehingga kesalahan dalam hal ini bisa menjerumuskan orang keluar dari Manhaj yang selamat yaitu Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Entah mereka akan menjadi Murji’ah, Khawarij, Qodariyyah, Jabariyyah atau mungkin Asy Ariyah dan Manhaj -Manhaj ini adalah Manhaj sesat menurut Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

DALAM MASALAH HADIST AHAD
Mereka (Hizbut Tahrir) mengatakan hadist ahad meskipun shahih tidak bisa atau tidak boleh digunakan untuk dalil dalam masalah aqidah, karena mereka (Hizbut Tahrir) menganggap bahwa hadist ahad mengandung “dzan” atau keraguan meskipun derajat Hadist tersebut shahih dan dishahih kan oleh Bukhari-Muslim.
Pendapat seperti ini keliru yang tidak di contohkan oleh para ulama. Adapun yang menolak hadits ahad yang shohih ialah pendapatnya Mu’tazilah Jahmiyah, Rafidlah dan Khawarij yang telah merusak kehormatan Islam.
Siapapun yang tidak mengambil hadits ahad yang shohih dalam masalah Aqidah niscaya mereka menolak bagitu banyak hadits ahad yang telah mencapai derajat shohih tentang Aqidah lainnya seperti tentang :
1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam.
2. Syafaatnya Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang besar di akhirat.
3. Syafaatnya Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.
4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an .
5. Proses permulaan makhluk sifat Malaikat dan Jin sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an .
6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.
7. Himpitan kubur terhadap mayit.
8. Jembatan telaga dan timbangan amal.
9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya sengsaranya rizkinya dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.
10. Keistimewaan Nabi Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra seperti Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.
11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dijamin masuk Surga.
12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.
13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an .
14. Percaya terhadap semua tanda kiamat seperti keluarnya Imam Mahdi keluarnya Dajjal turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam keluarnya api munculnya matahari dari barat dan binatang- binatang dan lain-lain.
Kemudian bagaimana pendapat Ulama Ahlu Sunnah terhadap kerancuan pemikiran-pemikiran yang serupa dengan Hizbut Tahrir dalam penolakan mereka terhadap ke-hujjah -an hadist ahad yang shohih dalam perkara aqidah . Ini bantahan Para ulama ialah :
Ibnu Qayyim Rahimahullah (murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Beliau berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian sahabat lain karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang (secara ahad) dari mereka (para sahabat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka (para sahabat) yang berkata kepada seorang (sahabat yang lain) yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bahwa “beritamu adalah berita perorangan (ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir”. Dan jika salah satu di antara mereka (para sahabat) meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala (dan ini adalah termasuk kedalam masalah aqidah ) maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti sebagaimana meyakini melihat Rabb firman- Nya dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh serta turun-Nya ke langit dunia tiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam atau shahabat maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar”.
Mereka Hizbut Tahrir berpendapat “persangkaan” yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah aqidah. Alasannya mereka berdalil dengan ayat yang melarang mengikuti persangkaan yaitu dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”
.(QS. An Najm : 28)

Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena “dzan” dalam ayat ini di sini bukan dimaksud “dzan” (prasangka) dalam arti “prasangka” yang biasa kita lakukan. Akan tetapi maksudnya ialah prasangka yang berupa keraguan dusta dan kira-kira yang mengandung kekufuran dan bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir/ murtad dengan “prasangka”/ “dzan” ini.
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat : “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” Maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji.
Hal ini jelas berbeda dengan “prasangka” yang biasa kita lakukan, karena “prasangka” dalam Surat An Najm ayat ke 28 menunjukan “prasangka” yang mengandung kekafiran seperti contohnya mengatakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu mempunyai anak, atau malaikat itu berwujud perempuan serta menamakan malaikat dengan nama-nama perempuan, seperti dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dibawah ini :

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan” (QS An Najm : 27)

Ayat di atas sebagai salah satu contoh “prasangka” orang-orang kafir yang mengandung kekafiran sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir.
Sehingga “prasangka” dalam Surat An Najm ayat ke 28 bukan ‘prasangka” atau keraguan dari sebuah hadist yang dikarenakan diriwayatkan oleh seorang sahabat secara ahad (sendirian), karena buktinya Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam pernah mengutus beberapa utusan ke beberapa daerah secara ahad dan utusan-utusan itu menjelaskan masalah Aqidah dan masalah hukum juga.
Apabila memang hadist itu keliru, atau mungkin dhaif atau bertentangan dengan Al Qur’an atau dengan hadist yang lain, maka kemungkinan besar hadist ini tidak dikatakan shahih (atau mungkin di “nasakh” oleh hadist yang lain.) Untuk menentukan derajat sebuah hadist dinilai shahih memerlukan proses yang panjang dan diteliti oleh ulama-ulama ahli hadist yang memang punya keilmuan yang tinggi, ulama-ulama yang benar-benar jujur dalam beragama yang tidak mungkin memalsukan hadist Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam.
Apalagi para Sahabat Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam tidaklah mungkin mereka (para sahabat RA) memalsukan hadist dari orang yang mereka sangat cintai bahkan lebih mereka cintai daripada diri-diri mereka yaitu Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam .
Bahkan dari orang fasiq pun bisa membawa kebenaran tapi harus diteliti dahulu !.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (Al hujurat : 6)
Dalam sebagian qira’ah ini menjelaskan bahwasannya orang fasiq saja memungkinkan membawa berita yang benar, akan tetapi harus diperiksa terlebih dahulu. Hal ini berarti menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang tsiqoh (terpecaya), apalagi mereka adalah para ulama yang terkenal jujur dan terpercaya baik secara ilmu, Manhaj bahkan hafalannya baik. Apalagi yang menyampaikan ini adalah para Sahabat Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para raja satu persatu. Disebutkan dalam Shahihain (kitab Shohih Bukhari-Muslim) hadits yang dikeluarkan oleh keduanya dengan sanad yang shahih : Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengutus Muadz ke negara Yaman beliau bersabda kepadanya :
“Jadikanlah pertama kalinya yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan kecuali Allah.” (HR. Bukhari-Muslim, HR. Ahmad, Ibnu Madjah).
Maka siapa lagi yang ragu dari kalangan muslimin bahwa syahadat adalah dasar pertama dari Islam (maksudnya aqidah) yang pertama kali dibangun di atas iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaMalaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya ‘alaihimus Salam. Sungguh Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu telah pergi ke Yaman seorang diri untuk menyampaikan dan menyeru kepada kaum musyrikin agar mereka beriman kepada agama Islam.
Muadz bin Jabbal Radhialloohu ‘anhu menyuruh mereka mendirikan shalat lima waktu sehari semalam ada yang dua rakaat empat rakaat tiga rakaat dan yang lainnya yang telah kita ketahui secara rinci serta menyuruh mereka membayar zakat sampai diperinci zakat yang berhubungan dengan emas dan perak yang berhubungan dengan buah-buahan sapi onta dan yang lainnya.
Kemudian Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam juga pernah mengutus sahabat beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang lain seperti :
1. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu ‘anhu ke negara Najran,
2. Dihyah Al Kalbi radhiallahu ‘anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah dan lain-lain.
Kemudian mereka (Hizbut tahrir) datang dengan filsafat bahwasanya kita tidak boleh mengambil hadits shahih (meskipun dishahihkan oleh Bukhari-Muslim) yang derajatnya ahad sebagai aqidah Islamiyah.
Jika demikian kalau kita “mengikuti” kaidah befikir mereka (Hizbut Tahrir) maka orang-orang Yaman ketika Muadz radhiallahu ‘anhu berdakwah kepada mereka dalam masalah aqidah belum tegak hujjatullah atas mereka (penduduk Yaman) pada waktu penduduk Yaman ini beriman dan mengikuti Muadz Bin Jabal radhiallahu ‘anhu, hal ini disebabkan Muadz radhiallahu ‘anhu seorang diri atau secara “ahad” menjelaskan mengenai masalah aqidah kepada penduduk Yaman pada waktu itu adalah penyembah patung, Nashrani dan Majusi.
Adapun dalam masalah ahkam/ hukum Hizbut Tahrir berpendapat sebagaimana Muslim pada umumnya{dengan mengatakan} : “Ya hadits ahad bisa dipakai dalam masalah ahkam syar’iyah” (hukum).
Perlu kita ketahui bahwasannya Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu di sini berperan sebagai utusan Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang seorang diri (ahad) yang menda’wahkan Islam secara menyeluruh mencakup ushul, furu’ aqidah -aqidah dan hukum-hukum .
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pun menerima kabar ahad dalam hal aqidah : Dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu ia berkata :
“Ada seorang shahabat Anshar apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bila saya tidak hadir maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Maka inilah peristiwa yang dilakukan para shahabat radhiallahu ‘anhu yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang (sahabat yang lain) meski secara ahad dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan (Aqidah) ataupun perbuatan (Hukum).
Ketika Imam Ahmad (salah seorang Imam Mahzab dan beliau adalah salah seorang ulama ahli hadist dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang diberitakan dalam biografi beliau Rahimahullah hafal sampai 700.000 hadist. Subhanallah). Beliau Rahimahullah ditanya tentang hadist ru’yah (melihatnya kaum mukminin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada hari kiamat dan ini adalah salah satu hadist ahad). Jawab imam Ahmad rahumahullah : “Hadist -hadist yang shahih kita imani dan tetapkan, dan setiap yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam dengan sanad yang jayyid kita imani dan tetapkan“ .(Syarah Ushul I’tiqod oleh: Al-Lailakiy 3/507 no.889). Beliau (Imam Ahmad Rahimahullah) tidak mensyaratkan mutawatir dalam kabar (hadist ), tapi beliau hanya menyaratkan shahih saja.
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah, setelah menyebutkan hadist bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala turun kelangit dunia, dan hadist bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala gembira melihat hambanya yang bertaubat, juga hadist bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tertawa kepada dua orang yang saling membunuh dan kedua-duanya masuk syurga, dan hadist bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala meletakkan kakinya di neraka, sehingga neraka mengatakan: “cukup ! cukup !”, serta hadist lainnya (semua hadist ini adalah berkenaan dengan hadist yang mengabarkan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tentu ini adalah dalam masalah Aqidah dan semuanya hadist tersebut termasuk kedalam kategori Hadist Ahad,) kata beliau (Ibnu Taimiyah) Rahimahullah : “Sesungguhnya (golongan selamat) Ahlu Sunnah mengimaninya sebagaimana mereka mengimani Al-Qur’an , tanpa tahrif dan ta’thil, tanpa takyif dan tamtsil, bahkan mereka adalah golongan tengah-tengah”.
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i Rahimahullah dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i Rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i Rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at kamu melihat saya diikat?, Saya berkata kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam telah menetapkan dan kamu bertanya ‘bagaimana pendapatmu (maksudnya malah orang tersebut bertanya kepada Imam Syafi’I tentang suatu hal yang sudah secara jelas ditetapkan Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam )?. ’Kemudian Imam Syafi’i Rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam lalu saya tidak mengambilnya maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang.” Imam Syafi’i Rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir hadits tentang aqidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.


MASALAH AZAB KUBUR
Kemudian ada suatu yang cukup membuat kita cukup bingung dengan sebuah masalah yang mereka (Hizbut Tahrir) yakni, yaitu ;
Ada dalam begitu banyak hadist disebutkan tentang Azab kubur dan fitnah Dajjal yang besar yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dengan hadits-hadits yang banyak. Salah satunya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam :
“Bila salah seorang diantara kalian duduk pada tasyahud akhir, maka berlindunglah kepada Allah dari empat perkara dengan mengucapkan ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahanam, dari azab kubur dari fitnah dalam kehidupan, fitna setelah kematian dan fitnah Dajjal” . (HR. Bukhari Muslim dari riwayat Aisyah RA dikeluarkan oleh Bukhari (1/286) dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Muslim (1/4120. Oleh Abu Daud (880).
Hadist ini termasuk salah satu dari sekian banyak hadist Ahad yang tidak mencapai derajat Mutawatir mengenai masalah aqidah yang menurut Hizbut Tahrir tidak bisa dijadikan Hujjah untuk masalah Aqidah .
Kita tanya kepada mereka, bagaimana pendapat kalian terhadap hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang di satu sisi mengandung hukum syar’i sehingga wajib bagi kalian pada akhir shalatnya mengucapkan :
“Wa a’udzu bika min adzabil qobri.” (dan aku berlindung kepada-Mu dari Azab Kubur).
Maka dengan kosekuensi bahwa Hizbut Tahrir menerima hadist ahad untuk masalah Ibadah/ hukum, merekapun berdoa dengan khusyu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berlindung dari Azab kubur. Yang menjadi pertanyaan adalah “mengapa mereka (Hizbut Tahrir) berlindung dari azab kubur sementara mereka (Hizbut Tahrir) tidak beriman dengan azab kubur?”. karena Hadist mengenai azab kubur menurut mereka (Hizbut Tahrir) termasuk Hadist ahad yang masih mengandung keraguan sehingga mereka (Hizbut Tahrir) mengharamkan untuk beriman kepada sesuatu yang dikabarkan secara (hadist Ahad).
Ini adalah dua hal berlawanan yang tidak akan pernah bertemu. Apakah mereka (Hizbut Tahrir) menganggap Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam mencontohkan kepada umatnya untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari sesuatu yang tidak ada atau dari sesuatu yang meragukan kita?. Bagaimanakah ini bisa disebut kebenaran ?.
Bukankah Hizbut Tahrir tidak beriman dengan azab kubur? atau Hizbut Tahrir berkata kami mengimani Azab kubur tapi cuma 80% sampai 85% saja seperti yang telah dikatakan beberapa aktifvis Hizbut Tahrir ketika ditanya tentang keimanan mereka terhadap azab kubur?. Bukankah menurut mereka (Hizbut Tahrir) iman itu tidak boleh berkurang meskipun 0.00001% sehingga menurut mereka (Hizbut Tahrir) seorang muslim akan menjadi kafir jika terjadi hal tersebut dengan keimanannya?.
Apakah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam , para sahabat radhiallahu ‘anhu, para ulama dikalangan Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in mengajarkan kepada umat agar beriman 80% saja atau 99% saja terhadap apa-apa yang diberitakan oleh Rsaulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dan sudah di-Shohihkan dan di imani oleh para ulama yang lebih faham secara ilmu dari berbagai jaman dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Dari manakah mereka (Hizbut Tahrir) mendapatkan pemahaman ini?. Bukankah ini jelas bukti kebingungan mereka (Hizbut Tahrir) dalam hal Aqidah?.
Mereka (Hizbut Tahrir) akan berkilah terus, terus dan terus ?. Kemudian mereka (Hizbut Tahrir) datang kepada kita berkelit dengan cara yang dilarang Allah bagi kaum Muslimin dengan mengatakan : “Kita membenarkan azab kubur tapi tidak beriman dengannya”. Ini adalah filsafat yang aneh dan janggal apa yang bisa membawa mereka {pada yang demikian itu}. Mereka datang dengan filsafat yang pertama dan bersambung dengan filsafat yang banyak (ini perkataan Syaikh Al Bani rahimahullah yang menjelaskan kekeliruan Hizbut Tahrir dalam hal hadist Ahad). Dan saya pribadi mengakui bahwa saya pernah bingung sendiri terhadap pemahaman saya sendiri. Karena saya memang berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dijauhkan dari Azab kubur sementara pada saat itu saya masih mempunyai pemahaman seperti Hizbut Tahrir yang tidak meng- imani adanya azab kubur. Alhamdulillah saya bertaubat dari pemahamansepertiini.
Maka Maha benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan Firmannya :

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”.
(An Naml : 14).

DALAM METODE DA’WAH
Demontrasi (masyiroh) dijadikan salah satu metode da’wah yang mereka katakan teladan dari Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam . Mereka mengembar gemborkan kesalahan pemimpin atau pemerintah dimana saja. Di atas mimbar jum’at, diskusi public, di mesjid dan bahkan dijalanan. Ini jelas Manhaj Khawarij.
Hizbut Tahrir “berhujjah ” bahwasannya pemimpin itu hanya kholifah yang satu sedangkan pemimpin negeri-negeri Islam sekarang bukanlah pemimpin Islam yang harus ditaati karena mereka bukanlah seorang khilafah yang mereka gambarkan.

Lalu bagaimana pendapat ulama Ahlu Sunnah mengenai hal ini ? :
Mari kita renungkan Sabda Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan.Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia (si pemberi nasihat) telah menunaikan kewajibannya”. {HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin dishahih kan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096}.
Dalam kitab “Al Awjibah Al Mufidah ‘an As ‘ilatil Manahij Al Jadilah” (edisi Indonesianya ialah “jawab tuntas masalah Manhaj” ) karya Syaikh Sholeh Fauzan disana ada pendapat para ulama juga terdapat banyak hadist Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam tentang haramnya melakukan pemberontakan. Dalam kitab tersebut dijlelaskan juga bagaimana cara para ulama salaf ketika mereka menasehati pemerintah yang dzhalim. Juga dalam kitab SyaikhAl Bani “Al Manhaj AS Salafi ‘Inda Nashiruddin Al Al Bani” (edisi Indonesianya ialah Syaikh Al Bani dan Manhaj Salaf”). Alhamdulillah saya memiliki dua kitab yang sangat berharga ini.
Para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah menjelaskan bagaimana cara memberikan nasihat kepada pemerintah yang masih muslim, yaitu dengan cara memberikan nasehat kepada mereka dengan cara yang baik serta dengan cara sembunyi-sembunyi dan ini adalah cara atau metode Ahlu Sunnah Wal jama’ah dalam menasehati penguasa. Adalah hadist Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam:

"Barangsiapa yang ingin menasihati pemerintah dengan suatu perkara, maka janganlah ia paparkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa dengan empat mata. Jika ia menerima, maka itu yang diinginkan dan kalau tidak, maka sungguh dia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia (pemerintah) dan pahala baginya (orang yang menasihati)."

Hadist ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad Al-Khaitsami dalam al-Majma', Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah. Hadist ini banyak yang meriwayatkannya sehingga kedudukannya sahih bukan hasan, apalagi dhaif (lemah) sebagaimana sebahagian ulama menyatakannya. Demikian keterangan Syeikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim. (Lihat: Mu'amalatul Hukam fii Dhau`il Kitab was-Sunnah , hal 54) Syeikh Al-Albani mensahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji as-Sunnah .

Hadist ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini, maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan tanggung jawab. Demikian dijelaskan oleh Syeikh Abdullah bin Barjas.

Kemudian didalam Hadist yang lain :
Dari 'Auf bin Malik, katanya: "Saya mendengar Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam Bersabda”:
“Pemimpin-pemimpin pilihan di antara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua mencintai mereka dan mereka pun mencintaimu semua, juga yang engkau semua mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untukmu semua. Adapun pemimpin-pemimpin yang jahat di antara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua membenci mereka dan mereka pun membenci padamu semua, juga yang engkau semua melaknat mereka dan mereka pun melaknat padamu semua." 'Auf berkata: "Kita para sahabat lalu berkata: "Ya Rasulullah,apakah kita tidak boleh menentang kepada pemimpin-pemimpin yang sedemikian itu? Beliau Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam . bersabda: "Jangan menentang mereka, selama mereka masih tetap mendirikan sholat di kalanganmu semua." (HR.Riwayat Muslim).

Hizbut Tahrir menafsirkan ayat “mendirikan sholat ” ialah mendirikan “hukum hudud dan syariat secara kaffah”. Secara otomatis menurut mereka (Hizbut Tahrir) pemimpin yang masih “mendirikan sholat ” pun boleh “digulingkan” karena alasan bahwa penguasa-penguasa ini tidak menerapkan hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Ini tafsir dari ahlul Bid’ah !.
Lhat tafsir Ibnu Katsir dan pendapat para ulama diantaranya dari “Turjumanur Qur’an Wa Hibrur Ummah” (Pena umat ini) Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu saat beliau menafsirkan ayat ”mendirikan sholat ” pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berkaitan dengan kalimat “mendirikan sholat ”, yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al Baqarah : 3)
Kita bisa melihat bagaimana dalam kitab tafsir penjelasan para ulama tentang ayat “mendirikan sholat ” dalam kitab Ibnu Katsir :
Ibnu abas radhiallahu ‘anhu berkata :”Mendirikan sholat berarti mendirikan sholat beserta kewajiban-kewajibannya (Rukun dan syaratnya)”. Dari ibnu abas radhiallahu ‘anhu. Adh Dhahak mengatakan “Mendirikan sholat berarti mengerjakan dengan sempurna ruku, sujud, bacaan, serat penuh kekhusyuan”.
Dan Qotadah berkata: “Mendirikan sholat berarti berusaha mengerjakan pada tepat waktunya, berwudhu, ruku dan bersujud”.
Sedangkan menurut Muqatil bin Hayyan mengatakan bahwa “mendirikan sholat” ialah: “Mengerjakannya selalu pada waktunya, menyempurnakn ruku, sujud, bacaan Qur’an , tasyahud, serta membaca sholawat kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam , demikian itulah tafsir dari ayat“. mendirikansholat ”, dan ini terdapat dalam kitab terjemah Ibnu Katsir tafsir surat Al Baqarah : 3. Sayapun memiliki kitab ini Alhamdulillah.
Sedangkan Hizbut Tahrir menafsirkan “mendirikan sholat ” berarti menegakan hukum syariat Islam seluruhnya?!.
Tafsir siapakah yang mereka (Hizbut Tahrir) gunakan?. Apakah mereka (Hizbut Tahrir) lebih cerdas dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah dan dianggap sebagai tokoh utama ahli tafsir di kalangan sahabat. Apakah mereka (Hizbut Tahrir) menilai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan para ulama yang keliru dalam menafsirkan ayat yang mulia ini ataukah beliau radhiallahu ‘anhu ini menyembunyikan ilmu/ kebenaran kepada umat ?!.
Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam :
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku (al Qur’an ) dan tidak mengikuti cara/jalanku (Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam). Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah bersabda : “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka dengarkanlah dan taatilah”. (Hadist ini isinya dan maknanya hampir serupa dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tidmidzi. Hadist -nya hasan shahih yaitu tentang wajibnya berpegang teguh kepada Sunnah Khulafaurasyidin dan taat kepada pemimpin (pemerintah) meskipun dia seorang budak. (kitab syarah hadist Arbain an nawawi terjemah halaman 39).

TENTANG KE KHILAFAHAN
Kemudian bagaimana dengan kepemimpinan umat yang banyak seperti sekarang ini, bukan kholifah yang satu?. Dibawah ini pernyataan para Ulama Ahlu Sunnah , Yaitu :
Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah : ”Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang menguasai sebuah negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan, kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila ada imam yang menyeluruh.” (Ad-duror As-Saniyyah: 7/239, dan Mu’amalatul Hukkam: 24)

Berkata Imam Asy-Syaukani rahimahullah : ”Merupakan hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain. Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak memahaminya.” (As-sail Al-Jarror: 4/512. secara ringkas).
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Adapun kepemimpinan seorang pemimpin semata setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin {di daerah kekuasaan masing-masing -pen}. Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana Demikian pulapadanya perintah dan larangan pimpinan tersebut untuk menaatinya”. Dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani sebagaimana dalam Subulus Salam cet. Darul Hadits.
Mereka (Hizbut Tahrir) mengatakan bahwa khilafah Islamiyyah itu runtuh pada tahun 1924, di abad ini. Ini adalah kekeliruan. Sebab Khilafah Islamiyyah itu telah runtuh sejak berabad-abad yang lalu. Sedangkan tahta 'Utsmani bukanlah Khilafah. Mereka (para penguasanya) sendiri meyatakan bahwa diri mereka adalah raja, Sulthan (seperti Sulthan Abdul Hamid, Sulthan 'Abdul Majid). Ini bukanlah Khilafah Islamiyyah, ini adalah kerajaan biasa.


MASALAH KETAATAN KEPADA PEMERINTAH
Menurut para Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang tsiqoh dengan Ilmunya maka mereka berpendapat wajibnya untuk taat kepada penguasa selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiyatan, dan tidaklah dihalalkan memberontak terhadap penguasa meskipun mereka penguasa dzholim dan fasiq.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah nya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)

Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah :
“Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang,dan taat kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah Allah untuk mentaati mereka.” (Majmu’ fatawa:35/16)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : “Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama (Tafsir Ibnu Katsir:1/530)

“Telah diketahui secara pasti dalam Islam bahwa tidak ada agama kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan tidak ada imamah kecuali dengan mendengar dan taat, dan keluar dari ketaatan kepada waliyyul amri termasuk diantara sebab terbesar munculnya kerusakan diberbagai negara, rusaknya para hamba dan penyimpangan dari jalan hidayah dan petunjuk.” (An Nasihah muhimmah:23)



Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah :
“Demi Allah, tidaklah tegak agama kecuali dengan penguasa, walaupun mereka berbuat kedzaliman, demi Allah apa yang mereka perbaiki lebih banyak daripada kerusakan mereka.” (Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117)

Berkata Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah : ”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.” (Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117)

Dan keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penyimpangan dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan As-salaf us Shaleh. (Lihat: An-Nasihah al-muhimmah:29).

Nabi Shallallahu’Alaihi Wassallam menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada penguasa adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus, adapun perintah yang lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahih nya dari Abdullah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu’Alaihi Wassallam bersabda:

“Mendengar dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap apa yang dia senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.”

Berkata para Ulama: “maknanya adalah wajib mentaati penguasa disaat sulit dan tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat” adalah dalam perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika diperintah untuk mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak mentaatinya dalam perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab taat kepada Allah lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam setiap perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak, kecuali dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat”. (Mu’amalatul hukkam: 78).

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan” :

Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat , maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mematuhi perintah mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.”
(QS.An-Nisaa: 59).

Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang AllahSubhanahu wa Ta’ala melarangnya, maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kami menyelisihi kalian (pemimpin/ penguasa), sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq (Allah Subhanahu wa Ta’ala), seperti kalau mereka mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.

Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihi Wa Sallam, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul- Nya Shallallahu'alaihi Wa Sallam: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah Shallallahu'Alaihi wasallam memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau Shallallahu’Alaihi Wassallam bersabda:

“Dengar dan taatlah, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.” (Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishahih kan Al-Albani dalam silsilah al- ahadits as- shahih ah, Jilid : 6, no:2739.).

Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il RA bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam : “Bagaimana jika kami memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan”? (penguasa-penguasa yang merampas harta mereka dan mengambil hak- hak rakyatnya)”.
Maka beliau Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab:

“Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan”. (HR. Bukhari).

Beliau Shallallahu'alaihi wasallam telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat. Adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishahih kan Al- Albani dalam Asshahih Al-jami’: 4088.)
Imam Nawawi rahimahullah : ”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.” (Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308)

Berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala: ”Ayat ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam Sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.” (Al-ma’lum: 7).

Berkata Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah Ta’ala: ”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.”
(Jami’ Al-‘ulum Wal hikam : 2/117).

Kita bisa melihat seorang Imam Besar ketika menyikapi perbuatan penguasa ynag dzholim. Beliau yaitu Imam Ahmad bin Hambal seorang ulama besar dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang sudah pasti beliau mengerti tentang agama Islam ini daripada kita atau ulama pada jaman ini pada umumnya. Beliau dizholimi oleh penguasa saat itu (Al Watsiq) karena Imam Ahmad Rahimahullah tidak mau mengakui Aqidah kufur Jamhiyah yang di anut oleh penguasa saat itu yaitu (keturunan dari Mu’tashim Billah) yang meyakini dan memaksakan pemahaman kepada rakyatnya agar mereka bahwa “AlQur’an adalah Makhluk”.
Dan Imam Ahmad rahimahullah berfatwa dengan fatwanya yang sangat terkenal yaitu:
“Barangsiapa yang meyakini “alQur’an adalah Makhluk” maka ia telah kafir”.
Kemudian Imam Ahmad rahimahullah dikarenakan fatwanya tersebut beliau rahimahullah dipukuli berpuluh kali dan bahkan diseret dengan baghlah (Peranakan kuda, atau jenis kuda kecil), dipukul dengan cambuk sehingga beliau tidak sadarkan diri. Namun beliau rahimahullah tetap mengatakan: "jikalau sekiranya aku memiliki do’a yang mustajab, maka aku akan menujukannya untuk penguasa."
Beliau rahimahullah tetap memanggil penguasa saat itu yang beraqidah kan kufur Jahmiyah tersebut dengan sebutan Amirul mukminin, tidak langsung memvonis kafir terhadap penguasa tersebut karena pada kenyataannya penguasa tersebut jahil dari ilmu dien dan hanya jadi pengikut saja. Padahal saat itu penguasa dalam keadaan menyeru kepada bid’ah yang besar, yaitu berpendapat bahwa Al-Qur’an makhluk, bahkan keyakinan ini mereka ajarkan di sekolah, serta mereka menyiksa para ulama yang tidak mengakui bahwa Alquran adalah Makhluk termasuk salah satunya adalah Imam Ahmad rahimahullah .
Lalu mengapa diantara para “aktivis” Islam serlalu tergesa-gesa ingin “menggulingkan” penguasa yang masih muslim dengan berbagai alasan yang sebenarnya para ulama berdasarkan Ilmu mereka yang lebih luas dan lebih faham untuk bagaimana bersikap sesuaiSunnah dalam menyikapi penguasa seperti yang dilakukan Imam Ahmad rahimahullah terhadap penguasa meskipun mereka adalah penguasa dzholim.
Bukankah sudah menjadi bukti nyata di depan mata kita bahwa ada beberapa orang ikhwan yang melaksanakan Sunnah seperti berjanggut, istri mereka bercadar, mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan aksi peledakan di kota-kota besar di negeri Islam ini.
Tapi kemudian ikhwan -ikhwan yang tidak tahu apa-apa ini terkena “imbas” dari perbuatan segelintir orang yang mengaku sebagai “pejuang Islam”. Ikhwan-ikhwan ini ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara hanya karena dicurigai sebagai bagian dari beberapa orang yang melakukan aksi pemberontakan, padahal ikhwan -ikhwan ini hanya penjual madu dan penjual obat herbal Habbatussauda !.
Kita lihat “efek” dari hal ini. Kita bisa merasakan setiap kegiatan ta’lim para aktivis Islam selalu dicurigai dan di awasi dengan ketat sehingga da’wah Islam ini terhambat. Apakah ini yang kita kehendaki? Apakah “mereka’ sadar akan pengaruh yang lebih buruk ini seperti yang dikhawatirkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah?.
Lihatlah kemudian sikap Imam Ahmad rahimahullah, “beliau rahimahullah tidaklah kemudian melakukan demontrasi terhadap penguasa dan membuat provokasi terhadap umat di mimbar-mimbar jum’at atau dimanapun. serta beliau tidak mengajarkan kepada umat, agar umat menggulingkan penguasa pada waktu itu yang beraqidah kan Jahmiyah yang mana hal ini aqidah kekufuran menurut fatwa Imam Ahmad. Karena beliau rahimahullah faham bagaimana “efek” dari cara-cara yang tidak sesuai dengan Sunnah dalam menyikapi penguasa dzholim dan fasiq.
Kemudian‘Para pejuang” ini menuduh ulama yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dengan sebutan “ulama pemerintah” atau tuduhan keji “ulama penjilat pemerintah”, “ulama kerajaan”, “ ulama haid dan nifas”, dan tuduhan keji lainnya !. Innalilaahi, inikah adab seorang muslim yang baru hafal 4-5 buah hadist atau bahkan belum hafal Juz ‘Amma kepada ulama yang luas ilmunya?.
Mana dimanakah rasa malu kita?. Bukankah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melarang kita menghina para ulama ?!. Apa yang kita inginkan?. Apakah kita ingin pamer ilmu yang tidak seberapa dibandingkan para ulama?.
Abu Al Harits Ahmad bin Muhammad Ash Shaigh berkata :
“Aku (Abu Al Harits) bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah) tentang suatu kasus yang terjadi di Baghdad, dimana rakyat ingin sekali memberontak kepada penguasa yang beraqidahkan Jahmiyah yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk). Aku (Abu Al Harits) berkata : “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang ikut memberontak bersama rakyat tersebut?’. Beliau (Imam Ahmad bin Hambal) mengingkari mereka sambil mengatakan : “Subhanallah, darah, darah. Aku tidak berpendapat demikian dan tidak memerintahkan demikian (memberontak), sabar atas keadaan yang dialami lebih baik daripada fitnah, ditumpahkannya darah dan dihalalkannya harta benda dan dinodainya kehormatan. Aku (Abu Al Harits) menjawab, “bukankah manusia pada saat ini berada dalam kubangan fitnah (yaitu dengan menyebarnya Aqidah Jahmiyah yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk dan Aqidah ini adalah Aqidah kekufuran) wahai Abu Abdillah?. Beliau (Imam Ahmad) menjawab : “Jika mereka dalam keadaan fitnah, maka fitnahnya khusus kepada mereka. Jika terjadi peperangan (kekacauan akibat pemberontakan), maka fitnahnya bertambah luas dan terputuslah jalan-jalan. Sabar dalam hal ini dan keselamatan agamamu lebih baik bagimu”.
Aku (Abu Al Harits) melihat beliau mengingkari memberontak pada penguasa. Beliau (Imam Ahmad bin Hambal) berkata : “Aku tidak berpandangan untuk mengadakan pertumpahan darah dan tidak memerintahannya. (HR. Abu Bakar Al Khallal dalam As Sunnah dengan sanad Shahih ).


MEMINTA ULAMA SYI’AH (KHOMEINI LAKNATULLAH “SANG PENCACI” ISTRI NABI DAN PARA SAHABAT) UNTUK MENJADI KHOLIFAH
Dalam sebuah artikel berisi fatwa ulama Ahlu Sunnah Wal jama’ah yang bisa dijadikan sebagai satu bukti yang sangat jelas mengenai "kebenaran" dari sikap mereka Hizbut Tahrir yang tidak memperdulikan akan perkara aqidah . Mereka bersegera pergi ke Iran (ketika terjadi revolusi Iran) dan mereka pun mengusulkan siapa yang akan menjadi khalifah disana. Tahukah siapa yang mereka usulkan? Dia adalah Khomeini, mereka meminta Khomeini menjadi khalifah. Dan hal ini mereka nyatakan dalam surat kabar mereka, yaitu dalam majalah Al Khilafah no.18, Jum'at, 2 Januari 1410 H (1989 M).

Dalam surat kabar ini, terdapat sebuah artikel berjudul "Hizbut Tahrir wal 'Imam' Khomeini". Dalam artikel itu mereka berkata "Kami pergi ke Iran dan mengusulkan agar Khomeini menjadi khalifah umat ini". Apakah mereka tidak faham, siapakah Khomeini?. Apakah mereka tidak bisa memahami bagimana permusuhan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi Syia’ah tehadap Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Maka ini perkara yang harus difahami benar agar kita faham mana “kawan” dan “lawan”.

Dalam majalah mereka, Al Wa'ie, mereka mengatakan bahwa karangan yang berkenaan dengan politik terbesar (terbaik) yang pernah ditulis Khomeini menurut Hizbut Tahrir adalah kitab “Al Hukumah Al Islamiyyah”, yang ditulis oleh Khomeini. Menurut mereka, ini adalah karya terbesarnya Khomeini, sebab dalam karangannya itu dia menyerukan kepada syari'at dan menetapkan syari'at (menurut versinya) itu, dan dia mengatakan bahwa tidak ada timur tidak ada barat, tidak ada Sunni tidak ada Syi'i, yang ada adalah Islam.

Mereka (Hizbut Tahrir) berkata "bukan berarti Khomeini itu tidak mempunyai kesalahan, tapi sekarang ini bukanlah waktunya untuk membahas hal itu, tapi pergunakanlah waktu itu untuk hal lain".
Apakah yang lain itu?, Yaitu untuk menghantamkan kepala-kepala kaum muslimin dan mendakwahi mereka pada kemusyrikan.
Mereka Hizbut Tahrir mengakui dan berkata "kami telah pergi menemui Khomeini dan menyerukan padanya agar menjadi khalifah dan khomeini pun mengatakan bahwa dia akan memberikan jawabannya pada kita, apakah dia bersedia atau tidak". Lalu mereka Hizbut Tahrir berkata lagi "kami telah menunggu untuk jawabannya itu, tetapi kami tidak mendapatkannya (dia Khomeini tidak memberikan jawaban)".

Karena inilah mereka mengkritik penguasa Iran (Khomeini) itu. Mereka menyerukan agar Khomeini menjalankan Khilafah berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah . Apakah Khomeini menerima Al Qur’an dan As Sunnah ?. Apakah orang-orang ini sedang bercanda?!, Kenapa mereka tidak minta saja pada Clinton dan menyuruhnya untuk melakukan hal yang sama!.

Mereka Hizbut Tahrir memuji kitabnya Khomeini, “Al Hukumah Al Islamiyyah”, padahal didalamnya dia mencaci Abu Bakar, Umar, Mu'awiyah dan lainnya. Dia Khomeini mencaci ipar laki-lakinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kenapa hal ini tidak dipermasalahkan oleh mereka (Hizbut Tahrir)?

Dia Khomeini juga mengatakan bahwa "imam-imam" kami berada pada tingkatan tertinggi, yang tidak ada nabi ataupun malaikat yang dapat mencapainya (Al Hukumah Al Islamiyyah, halaman 52).

Bagaimana bisa dia (Khomeini laknatullah) berkata seperti itu? Bagaimana mungkin imam-imamnya itu lebih baik daripada semua nabi dan malaikat?. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang hal yang dipermasalahkan bagi Hizbut Tahrir!!. Yang penting Khilafah tegak meski kholifahnya adalah seoang Khomeini “sang Pencaci” sahabat dan “sang pencaci” istri Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Naudzubillah, kita memohon pertolongan Allah agar terhindar dari semua kesalahan ini.

Setelah saya mendapatan artikel ini saya merasa heran sekali dan bertanya-tanya, mengapa orang yang sudah dianggap kafir oleh para ulama Ahlu Sunnah seperti Khomeini Laknatullah diminta untuk menjadi Kholifah?. Tapi mengapa para penguasa yang masih muslim menurut para ulama Ahlu Sunnah selalu dihujat didepan khalayak ramai?. Apakah perbuatan ini adil dan benar? Lebih mengedepankan oang kafir atas seorang muslim?.

Ini salah satu kebusukan dan kekafiran orang Syi’ah Laknatullah :

Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89). Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir).

Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46.).

Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

"Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka” (yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)". (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib).

Apakah orang Hizbut Tahrir tidak bisa membedakan mana Ahlu Sunnah dan mana Syi;ah ?. Padahal begitu banyak kitab-kitab ulama Ahlu Sunnah serta fatwa-fatwa mereka dalam berbagai artikel yang sangat mudah sekali bisa kita dapatkan, mengenai kebusukan dan kebejatan Syiah, serta permusuhan mereka terhadap Ahlu Sunnah. Bahkan orang-orang syi’ah mengkafirkan para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam. Apakah mereka tidak faham hal ini?. Hal yang begitu besar ini?. Masya Allah.

MASALAH RAHMAT SERTA AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP ORANG YANG BERTAUBAT
Kemudian orang-orang Hizbut Tahrir berpendapat (Karena sering diutarakan atau di ucapkan da’i-da’i mereka) bahwasannya orang yang melakukan dosa besar kemudian wajib atasnya ditegakan hudud, maka sebelum ditegakan hudud kepada orang tersebut meskipun orang tersebut Taubatan Nasuha maka orang tersebut tidak akan di ampuni.

Bagaimana pendapat Ulama dan Hadist Shohih atau Qur’an Tentang pedapat mereka yang rancu ini, Allah Subhanahu Wa Ta’alaberfirman :


“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.(QS. Ali Imron :135).

Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS An Nissa : 48)

Kita sering mendengar Hadist yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang pembunuh 100 orang yang bertaubat kemudian meninggal sebelum menetap di pemukiman orang-orang sholih akan tetapi Allah mengampuninya.

Bahwa Nabi Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda: “Di antara umat sebelum kamu sekalian terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Dia pun mendatangi pendeta tersebut dan mengatakan, bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah tobatnya akan diterima? Pendeta itu menjawab: Tidak!, Lalu dibunuhnyalah pendeta itu sehingga melengkapi seratus pembunuhan. Kemudian dia bertanya lagi tentang penduduk bumi yang paling berilmu lalu ditunjukkan kepada seorang alim yang segera dikatakan kepadnya bahwa ia telah membunuh seratus jiwa, apakah tobatnya akan diterima? Orang alim itu menjawab: Ya, dan siapakah yang dapat menghalangi tobat seseorang! Pergilah ke negeri Anu dan Anu karena di sana terdapat kaum yang selalu beribadah kepada Allah lalu sembahlah Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu itu negeri yang penuh dengan kejahatan! Orang itu pun lalu berangkat, sampai ketika ia telah mencapai setengah perjalanan datanglah maut menjemputnya. Berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab mengenainya. Malaikat rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadap sepenuh hati kepada Allah. Malaikat azab berkata: Dia belum pernah melakukan satu perbuatan baik pun. Lalu datanglah seorang malaikat yang menjelma sebagai manusia menghampiri mereka yang segera mereka angkat sebagai penengah. Ia berkata: Ukurlah jarak antara dua negeri itu, ke negeri mana ia lebih dekat, maka ia menjadi miliknya. Lalu mereka pun mengukurnya dan mendapatkan orang itu lebih dekat ke negeri yang akan dituju sehingga diambillah ia oleh malaikat rahmat”. (Shahih Muslim No.4967).

Atau juga kita pernah mendengar Hadist tentang seorang pezina yang diampuni Allah karena memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan.

Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra., ia berkata:

“Kami sedang bersama Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam. dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: Apakah kamu sekalian mau membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak berzina, tidak mencuri serta tidak membunuh jiwa yang telah Allah haramkan kecuali dengan hak. Barang siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ditanggung Allah. Dan barang siapa yang melakukan salah satunya, maka ia akan dihukum dan hukuman itu menjadi kafarat baginya. Dan barang siapa yang melakukan salah satunya kemudian Allah menutupi, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkenan memberi ampunan, Allah akan mengampuninya dan jika Allah hendak menyiksa, maka Allah akan menyiksanya”. (Shahih Muslim No.3223).


MASALAH MENGHALALKAN FILM, GAMBAR PORNO
Ikhwan Fillah saya yakin antum akan meresa kaget dan terheran pada saat antum bertanya kepada Ikwan-akhwat Hizbut Tahrir mengenai ke-halalan VCD porno. Saya yakin antum akan heran juga pada saat antum tanyakan kepada mereka bagaimana hukumnya menonton Film Porno.
Ikhwan fillah, pemahaman mereka mengenai hal yang satu inipun tidak lepas dari kritikan para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Khususnya para ulama yang sangat perduli terhadap kebenaran, kehormatan, kesucian umat dan keadaan para pemuda Islam saat ini.

Mari kita lihat keadaan umat Islam khususnya yang menimpa para pemuda Islam sekarang ini. Mereka para pemuda Islam akrab dengan hal-hal yang “jorok” dan ini hal yang sangat memalukan yang seharusnya bukan menjadi “sajian” publik.

Kita bisa melihat dimanapun dengan mudah para pemuda Islam yang tidak faham akan dien ini terjebak dalam “kubangan-kubangan” kotoran maksiyat, semua ini adalah “suguhkan-suguhan” orang-orang kafir laknatullah. Kita bisa melihat saat ini banyak sekali hal-hal yang berbau porno, baik porno aksi maupun pornografi. Sudah menjadi bukti bahwasannya terjadinya pergaulan bebas, pemerkosaan yang terjadi di kota-kota besar bahkan hingga ke pelosok desa pun lebih besar dipengaruhi oleh menyebarnya hal-hal yang berbau porno. Khususnya berupa film-ilm porno yang dengan sangat mudah didapatkan siapa saja dan dimana saja.

Ikhwan fillah apakah antum tahu saat ini siswa sekolah dasar pun bisa mendapatkan dengan mudah hal-hal yang berbau porno di pinggir-pinggir jalan dengan harga yang relatif mudah seperti layaknya mereka membeli sebungkus gorengan atau jajanan pasar. Saat inipun orang dengan sangat mudah dengan mengunakan handphone-haadphone canggih yang mereka miliki bisa meng-akses hal-hal yang berbau porno, baik itu fim ataupun gambar. Innalillahi, kita berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar semua ini bisa segera kita benahi dengan berbagai upaya baik para orang tua, da’I ulama, pemerintah dan kita sebagai pribadi-pribadi muslim yang sadar dan merasa bertanggung jawab untuk ikut andil membantas hal-hal yang kotor ini.

Akan tetapi antum bisa terkejut dan terheran ketika mendengar jawaban dari para ikhwan -akwhat Hizbut Tahrir saat mereka ditanya mengenai film porno. Maka antum akan mendengar jawaban yang serupa dari mereka yaitu “ hukum film porno itu mubah (boleh), dan tidaklah haram !!”. Innalilaahi kita berlindung dari hal yang seperti ini.

Saya tahu dan kita semua tahu bahwa Hizbut Tahir adalah salah satu harokah Islam yang mendukung penerapan RPP anti pornoaksi dan pornografi. Hizbut Tahir pun seperti biasa, “berteriak” lantang menyerukan anti porno aksi dan pornografi di depan mata kita. Akan tetapi di satu sisi kita bisa melihat hal yang cukup membuat kita heran akan “penghalalan” mereka terhadap film dan gambar porno.
Hujjah mereka dalam menghukumi film atau porno ini adalah dengan menggunakan kaidah ushul fiqh yaitu : “ hukum asal setiap benda adalah mubah (boleh), terkecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

Ikhwan fillah, Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri kita sebagai seorang muslim, seharusnya kita jauhi semaksimal mungkin. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film porno dan ataupun film drama apapun itu seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi kita wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada diri kita dan kepada umat ini pada umumnya.

Ikhwan fillah kita juga mengetahui dan meyakini terhadap penelitian yang dilakukan beberapa para ahli, bahwa salah satu factor terbesar yang menyebabkan terjadinya pemerkosaan ataupun hubungan sex sebelum menikah (zina) adalah film, gambar atau hal-hal yang berbau porno. Fakta ini tidak bisa terbantahkan dan tidak bisa kita pungkiri karena hal ini adalah fakta yang kita ketahui bersama secara umum.

Bahkan dari bebagai kasus yang terjadi, para pelaku pemerkosaan atau pelaku perzinahan ini mengakui sendiri bahwa mereka memperkosa atau berhubungan sex diluar ikatan nikah ini dilakukan setelah mereka menonton film porno bersama teman-teman mereka ataupun sendirian.
Kita terlalu sering mendengar di surat kabar atau dari media cetak dan elektronik begitu banyak kejadian yang sangat menakutkan seputar kejadian pemerkosaan yang dilakukan para “penikmat” hal yang menjijikan tersebut yang diakibatkan setelah mereka terpengaruhi film, gambar porno yang mereka lihat.
Seorang kakek memperkosa cucunya yang masih dibawah umur karena sang kakek “terangsang” birahinya ketika dia menyaksikan seorang penari dangdut yang sedang menari layaknya seorang pelacur yang ia saksikan lewat video yang dia miliki .
Seorang ayah memperkosa anaknya yang masih dibawah umur, bahkan seorang siswa sekolah dasar memperkosa adik kelasnya karena sering menonton adegan porno bersama teman-temannya. Setelah diselidiki ternyata film porno ini milik orang tuanya yang mereka temukan didalam lemari pakaian milik orang tua mereka. Pada akhirnya mereka pun menonton film menjijikan tersebut dengan leluasa tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.

Hal seperti ini sudah sering kita dengar bahkan sudah terlalu banyak dan sudah cukup untuk menjadi bukti yang jelas bahwa apapun yang berbau porno seperti film, cerita ataupun gambar porno adalah salah satu sebab mutlak penyebab kekejian yang terjadi sekarang ini. Hanya orang-orang pembela hal-hal berbau porno saja yang mengingkari hal tersebut. kita berdo’a mudah-mudahan diri kita dan keluarga kita terjauh dan dilindungi oleh Allah Subhanbahu wa ta’ala agar terhidar dari hal seperti ini.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Israa : 32)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada kita agar setiap orang yang beriman menjauhi zina. Ayat ini sudah kita fahami bersama bahwa “mendekati zina” dalam bentuk perbuatan apapun tidak boleh maka terlebih lagi melakukan zina.

Kita llihat Hadist Dari Abi Hurairah Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. bahwa Beliau bersabda: "Telah ditulis atas anak adam nasibnya (bagiannya) dari zina, maka dia pasti menemuinya, zina kedua matanya adalah memandang, zina kakinya adalah melangkah, zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan, dan dibenarkan yang demikian oleh farjinya atau didustakan," (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i).
Perbuatan zina apapun tidak dibenarkan dalam Islam. Baik itu zina mata, hati zina kaki, ataupun zina dalam arti melakukan hubungan suami istri tanpa ada hubungan atau ikatan pernikahan yang sah. Setiap muslim baik itu awam ataupun bahkan para ulama memahami hal ini dengan pasti. Lalu kemudian bagaimana jika ada orang yang “menghalal”kan sesuatu yang merupakan penyebab yang paling dominan yang bisa mengantarkan siapapun, bahkan seorang siswa sekolah dasar ynag masih lugudan polos melakukan perbuatan zina atau kejahatan keji seperti pemerkosaan seperti contoh kasus diatas.
Jika kemudian mereka (Hizbut Tahrir) mengatakan bahwa film porno, gambar porno seperti gambar wanita tanpa busana itu adalah mubah tidak haram mengapa kalian ikut mendukung RPP Undang-undang anti pornoaksi dan pornografi?. Bukankah itu tidak apa-apa? Menurut kalian?.
Ajaran Islam melarang kita melakukan atau mendekati hal-hal yang akan menuntun kita menuju kemadhorotan, kebinasaan atau menggiring kita kedalam perbuatan dosa. Bukankah jelas dan tidak samar lagi bagi kita bahwa film, cerita ataupun gambar porno adalah salah satu sebab penyebab kekejian yang terjadi sekarang ini seperti perzinahan dan pemerkosaan.
Lantas mengapa hal ini tidak cukup bagi kalian (Hizbut Tahrir) untuk mengatakan bahwa VCD porno itu dan menyaksikan film adalah haram karena madhorot yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut?. Inilah yang difahami oleh para ulama ketika mereka ber-ijtihad mengharamkan film, gambar atau cerita yang berbau porno dengan mutlak.
Karena akibatnya sangat merugikan, merusak hati, fikiran bahkan merusak kehormatan manusia. Apapun yang berbau porno yang disajikan oleh orang-orang kafir adalah perbuatan bejat sehingga tidak dibenarkan setiap muslim manapun dan siapapun untuk “menikmati” hal tersebut. Seperti menonton atau bahkan menjualnya.
Karena itu adalah tipudaya syetan Laknatullah yang merusak keimanan setiap orang yang beriman yang menginginkan kesucian. Hal-hal berbau porno yang disajikan oleh orang-orang kafir ialah bagian dari cara mereka men’dawahkan “Manhaj ” mereka yang penuh kekufuran dan dosa sehingga mereka pun dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu kemudian mengapa kita tidak faham hal ini dengan baik dan mengikuti pendapat ulama yang lebih berilmu daripada kita?. Bukankah para ulama sepakat untuk mengaramkan hal tersebut dan sudah menjadi ijma’ dengan jelas melalui fatwa-fatwa mereka yang didasari ilmu yang luas dan kekonsistenan mereka terhadap Islam. Sehingga mereka para ulama merasa wajib untuk menjaga umat ini dari pengaruh buruk dalam bentuk apapun yang dapat menghancurkan generasi muslim seperti film, cerita dan gambar porno yang kalian anggap halal?.
Maka tidaklah mengherankan ketika saya dan seorang ikhwan pernah menyaksikan beberapa ikhwan Hizbut Tahrir yang sudah “lulus” menjadi “anggota” secara “berjama’ah” didalam sebuah kamar menikmati tayangan penuh kekejian dan kekotoran yaitu film porno. Mereka tidak merasa malu ketika saya dan teman saya memergoki mereka. Bahkan ada seorang ikhwan yang ketika melewati sebuah kamar kost yang dihuni oleh seorang akhwat Hizbut Tahrir, kemudian secara tidak sengaja ikhwan inipun melihat lewat celah pintu kamar kost yang agak terbuka (tidak mengintip). Ternyata akhwat tersebut sedang menyaksikan film porno. Innalilaahi, mengapa ini terjadi?.
Jika seorang muslim melakukan sebuah perbuatan sendirian sembunyi-sembunyi karena malu terlihat orang lain maka itulah dosa, sebagaimana yang Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam sabdakan :
Dari An Nawas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam, Baeiau Bersabda :
“”Kebajika itu keluhuran Akhlaq sedangkan dosa adalah apa-apa yang dirimu merasa ragu-ragu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya”. (HR. Muslim. Dalam kitab Syarah hadits Arbain An Nawawi. Hadist ke 27).
Kita bisa bertanya mereka dengan pertanyaan :
“Apakah menonton atau melihat gambar atau film porno yang memperlihatkan aurat perempuan dan laki-laki itu adalah akhalq yang baik dalam Islam, bahkan termasuk gambar atau film manusia yang sedang berhubungan intim ?”.
Jika mereka berkilah “ itu hanya gambar” bukan aurat, sedangkan yang diharamkan Islam ialah melihat aurat”. Maka kita bertanya kembali kepada mereka.
Apakah kalian tidak bisa membedakan mana gambar binatang dan gambar (maaf) wanita tanpa busana atau film orang yang sedang berhubungan intim?. Lalu apakah tidak ada perbedaan pengaruhnya dalam hati atau dada kalian ketika kalian melihat kedua hal tersebut (gambar porno dan gambar binatang)?.
Jika tidak ada pengaruh yang berbeda dalam hati dan fikiran kalian maka kemungkinan besar hati kalian telah rusak dan mati, dan tidak berfungsi sebagaimana hati manusia pada umumnya. Lalu mengapa kalian begitu penasaran dan diantara kalian begitu menikmati hal berbau porno tersebut, seperti yang telah saya saksikan.
Kemudian kita tanya kepada mereka, apakah kalian malu saat menonton film porno tersebut?. Jika tidak malu maka kita bisa menilai, orang-orang seperti ini tidak lazim dan tidak mempunyai rasa malu, bahkan secara sopan santun pun sebagai manusia pada umumnya siapapun di dunia ini meskipun bukan seorang muslim mereka mempunyai rasa malu terhadap hal-hal seperti ini. Seperti melihat orang lainsedang melakukan hal ynag menjijikan (zina) atau hal lainya yang berbau porno.
Hal ini cukup untuk menjadi bukti yang kuat bagi kita bahwa beberapa pemikiran Hizbut Tahrir tidak lazim. Karena jika ada sekelompok orang yang menyebut dirinya “pengemban da’wah” kemudian mereka tidak merasa malu ketika dipergoki oleh orang lain ketika sedang menikmati adegan porno dalam sebuah film, bahkan melakukan hal terserbut berulang-ulang kali. Maka kemungkinan besar mereka mempunyai pemahaman yang salah.
Jika ada pembelaan dari orang seperti itu kemudian mengatakan bahwa “menonton” film porno atau melihat gambar porno itu “mubah” yang berarti halal, sehingga dia tidak merasa bersalah dan tidak merasa malu melakukan hal tersebut padahal dia menyebut dirinya sebagai pengemban da’wah yang menyerukan umat agar mendukung penerapan undang-undang anti pornoaksi dan pornografi.
Maka seharusnya kita tanyakan kepada mereka “ apakah kalian tidak merasa malu kepada Allah?”. Atau kalian ada dalam kebingungan yang luar biasa sehingga kalian sudah tidak memperdulikan keadaan hati kalian yang bisa terkotori oleh hal-hal yang menjijikan tersebut?. Ataukan kalian adalah orang-orang yang merasa lebih pintar daripada para ulama yang sangat perduli terhadap kesucian setiap muslim?. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aladari tipu daya syaitan yang terkutuk.
Kemudian diantara mereka pun berkilah. “hal seperti itu menurut kami (film, gambar porno) mubah dan tentu saja kami tidak mengatakan wajib untuk menikmati hal tersebut, jadi menurut kami menonton film porno terrsebut tidak harus dilakukan”. Maka mari kita katakan kepada mereka, “bukankah karena “fatwa” kalian yang aneh dan menyelisihi fatwa ulama-ulama yang sholeh, sehingga diantara kalian pun banyak yang “hobi” dan tidakmereasa risih menonton film porno?”.
Kita katakan kepada mereka juga, “apakah kalian tahu akibat fatwa kalian yang aneh tersebut orang-orang awam semakin terjerumus kedalam kemaksiyatan berupa menikmati film, gambar, film porno karena dukungan “fatwa” dari “pengemban da’wah” seperti kalian?’ sehingga akibatnya semakin banyak terjadi perzinahan. Lalu apa yang kalian inginkan dengan hal sikap seperti ini?’.
Saya yakin telinga kita seakan “tersambar petir” ketika ada seorang pemuda muslim yang masih lugu, kemudian mereka asyik menonton film porno. Namun pada saat kita melarang mereka, maka mereka pun berkata dengan tenang, “bukankah jama’ah da’wah Islam yang bernama ini dan jama’ah itu menghalalkan hal ini?, maka mengapa kami perlu merasa bersalah ketika menonton film porno ini”. Apakah kita pernah sebagai umat Islam yang menginginkan kesucian hati dan fikiran kita berfikir seperti ini?..
Saya teringat akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan. Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. (QS. Al Baqarah : 11-12).

Saya yakin kita bisa melihat dengan jelas kerusakan akibat “penghalalan” film, gambar porno yang difahami oleh Hizbut Tahrir. Minimal kita bisa melihat diantara aktivis mereka tidak merasa bersalah ketika mereka menyaksikan film porno bahkan dilakukan secara berjama’ah. Kita berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alamudah-mudahan kita senantiasa diberikan hidayah dan taufiq-Nya, dan kita berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar diri kita dan seluruh umat Islam terpelihara kesucian dan diri-diri mereka dari hal-hal yang akan merusak hati, fikiran dan keimanan mereka seperti menikmati film atau gambar porno.
Terlebih menghalalkannya, disaat para ulama-ulama yang sholeh dan faqih akan dienul Islam telah berfatwa bahwa hal tersebut adalah keharaman yang jelas dan mutlak. Tolonglah kami Ya Rabb.
Sebenanya masih banyak kekeliruan yang seharusnya menjadi cerminan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan dan menapaki kebenaran, menjauhi dari sikap taklid buta dan taashub dan fanatik golongan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari Hal ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah salah jika saya atau siapapun didalam mengkritik pemahaman Hizbut Tahrir dengan memberikan Hujjah dari Hadist Shohih, Tafsir Qur’an dan pendapat ulama seperti oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), atau ijma’ ulama Ahlu Sunnah?.
Apa salah jika saya mengkritik Hizbut Tahrir yang menyelisihi pendapat-pendapat ulama-ulama tersebut, terutama dalam hal Aqidah ?, ataupun dalam hal yang sudah dijelaskan oleh para ulama dengan penjelasan yang jelas dan detail?. Bahkan dengan hujjah dan dalil shohih dan rajih?.
Apakah ikhwan -ikhwan Hizbut Tahrir lebih faham dari mereka Ulama-ulama Ahlu Sunnah ? Seperti Imam Ahmad rahimahullah yang hafal sampai 700.000 (tujuh ratus ribu) Hadist ? atau Imam Syafi’I rahimahullah, dan ulama besar lainnya dengan kitab-kitabnya yang Mu’tabar (di akui di semua kalangan Ahlu Sunnah ). Bukankah kita semuanya pelajar yang harus mengikuti para ulama yang tsiqoh secara ilmu dan manhaj?.
Apakah salah jika ada saudara dari salah seorang dari keluarga kalian mempunyai pemahaman yang sejalan dengan pemahaman-pemahaman ulama Ahlu Sunnah seperti yang saya sebutkan di atas?.
Jika ada orang yang berkata bahwa Hizbut Tahrir mempunyai pemahaman yang sesuai dengan pemahaman Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seperti Syaikh Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Qoyim, Imam syafi’I, Imam ahmad bin Hanbal, Imam malik atau Ulama Ahlu Sunnah pada umumnya dalam berbagai masalah dien ini. Maka jika benar maka berikan Dalil nya, Kitab apa? halaman Berapa? dan dalam masalah apa? Secara rinci !, tidak global !.
Jika benar ternyata sesuai. Alhamdulillah kita bersyukur dan tidak berat hati mengatakan Hizbut Tahrir adalah Harokah yang “sesuai segala sesuatunya” dengan Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Alhamdulillah.
Akan tetapi jika ternyata berbeda? Maka pertanyaannya “ada apa dengan Hizbut Tahrir?”.
DUA KEMUNGKINAN
Pertama : Ulama-ulama dengan pendapat-pendapat mereka bahkan ada yang secara Ijma seperti Syaikh Ibnu Taimiyah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), Imam Syafi’I, Imam ahmad bin hanbal, Imam malik atau Ulama Ahlu Sunnah pada Umumnya mereka ulama-ulama tersebut salah dan keliru dalam memahami dien ini, atau…
Kedua : Ada yang keliru dalam pemikiran Hizbut Tahrir dialam memahami seklaigus menjalankan dien ini.
Mudah bukan?. Tinggal tunjukan bukti, dalil dan ini bukan hanya untuk meyakinkan saya dan umat islam pada umumnya tapi juga Insya Allah untuk meyakinkan semua aktivis Hizbut Tahrir yang “merasa benar”jika pemahaman harokah mereka satu presepsi dengan ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seperti contoh para ulama yang saya sebutkan diatas.
Kalau ada bukti secara dalil , pasti puas, ”memuaskan akal dan hati” seperti yang sering ikhwan -ikhwan Hizbut Tahrir katakan, tapi saya mohon “dalil nya” jangan diganti dengan tuduhan bahwa yang memberi kritik adalah orang yang penuh kebencian dan orang yang iri terhadap Hizbut Tahrir. Apalagi terhadap para ulama.
Karena pendapat dan fatwa-fatwa tentang Hizbut Tahrir yang saya tulis diatas bukan berasal dari mulut saya yang jauh dari ilmu dan dengan penuh kesadaran. Saya mengakui bahwa diri saya lebih pantas untuk mengikuti fatwa-fatwa ulama, apalagi sudah berupa ijma’ ulama dari kalangan ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Maka tidak ada alasan lain bagi saya kecuali menerima hal tersebut dan membenarkannya tanpa didasari fanatik atau taashub kepada seseorang atau kelompok tertentu.
Akan tetapi Insya Allah saya yakin semua fatwa-fatwa atau ijma’ tersebut keluar dari “lisan-lisan” yang terjaga dan didasari ilmu syar’I yang mereka fahami yang sangat sedikit sekali kemungkinan keliru.
Apabila mereka (para ulama) ternyata keliru (menurut) kalian, maka tunjukan bukti yang jelas. Karena pada kenyataannya para ulama yang saya sebutkan diatas lebih faham ilmu daripada aktivis-aktivis Hizbut Tahrir. Itu yang saya tahu dan hampir semua msulim mengetahui dan mengakui hal ini. Terkecuali orang-orang yang fanatik buta dan taklid dalam menjalankan agama yang kita cintai.
Jika kalian tetep bertahan dengan pendapat kalian, maka saya hanya bisa mengatakan “ apa yang kalian katakan dan kalian fikirkan ?”, bukankah yang difatwakan atau pendapat ulama yang saya tulis diatas berdasarkan ilmu syar’I yang benar, bahkan ada yang secara ijma’?. Hujjah dan dalil yang diberikan oleh para ulamapun shohih dan menurut tafsir dan pendapat ulama terdahulu (salaf) yang tsiqoh ?!
Jika tetap bertahan dengan pemahaman seperti itu, maka terserah antum saja atau terserah orang Hizbut Tahrir saja, saya hanya menyampaikan saja, atas apa yang telah difatwakan oleh para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang tsiqoh secara aqidah, ilmu, akhlaq dan manhaj.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka”.(QS. Ar Ra’d : 40).
Terakhir, saya ucapkan minta maaf jika dikarenakan saya berhujjah dengan fatwa-fatwa ulama, hadist -hadist shohih atau pendapat ulama-ulama salaf seperti oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (beliau adalah guru dari ulama ahli tafsir Imam Ibnu Katsir dan guru dari Imam Ibnu Qoyim), atau ijma ulama Ahlu Sunnah membuat orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat saya menjadi “terasa sesak dada-nya” atau menjadikan seseorang “terpojok merasa “terserang” oleh “kebenaran”,
Mungkin malah lagi-lagi menuduh saya dan kepada orang-orang yang memberikan kritikan yang serupa termasuk mereka dari kalangan ulama dengan tuduhan ini dan itu.
Menurut hemat saya ini adalah suatu “tanda” manusiawi dan kita fahami bersama bahwa hidayah itu mutlak semata-mata hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala’. Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memberikan hidayah itu kepada siapa saja yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki. Kita senantiasa selalu harus berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan senantiasa meminta pertolongan-Nya mudah-mudahan kita senantiasa berada dalam Hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Amiin
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang “rela” dan “menyerah” serta “tunduk” dengan hidayah-Nya, diatas petunjuk Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam yang kita cintai ini, karena itulah orang-orang yang selamat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin., Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(QS. AN Nisa : 115).

Sekali lagi saya mohon maaf jika ada pihak yang tersinggung karena tulisan saya ini. Jelas dan pasti bahwasannya saja tulisan ini ada kesalahan dan kekurangan. Tapi jika ingin membantah tulisan saya ini yang berisi pendapat-pendapat dari para ulama, silahkan kemukakan dalil dan hujjah , mudah-mudahan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi saya khususnya dan pada umat Islam pada umumnya sehingga tidak ada “prasangka” dalam memahami setiap kelompok atau individu muslim yang lain.
Kemudian hal yang harus kita perhatikan ialah adanya ungkapan beberapa orang yangberkata, “kita harus menyaring pemahaman kita”, saya sangat setuju dengan orang yang berkata demikian. Akan tetapi permasalahannya adalah, apakah kita akan “menyaring” pemahaman kita dengan Qur’an dan Sunnah , atau sebaliknya, kita “menyaring” Qur’an dan Sunnah yang sesuai saja dengan pemikiran/ pemahaman harokah kita?, mana yang kita pilih?. Ataukah sudah cukup ilmu kita untuk “menyaring” pendapat-pendapat ulama yang lebih faham akan ilmu dien?. Bahkan ulama-ulama tersebut dari kalangan ulama terdahulu yang tsiqoh dan terpercaya dikalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?.
Jika kemudian kita “saring” Qur’an dan Sunnah yang Shohih dengan pemahaman harokah kita, maka sungguh kita celaka karena kita bukti menolak Qur’an dan Hadist Shohih. Sebaliknya jika ternyata terbukti jelas bahwasannya dalam harokah/ kelompok kita menyelisihi Qur’an dan Sunnah yang Shohih atau menyalahi Ijma’ Ulama (seperti contoh kasus di atas dalam masalah Aqidah dan masih banyak contoh lainnya) maka terlebih dahulu kita “luruskan” harokah/ Jama’ah kita sesuai dengan kemampuan kita.
Tetapi jika kemudian “kesesatan” atau kesalahan dalam harokah/ jama’ah kita tidak bisa kita luruskan, malah sebaliknya makin menjadi-jadi atau bahkan kita dikucilkan, di cekal, “ditendang keluar” oleh orang-orang yang berada di kelompok/ Jama’ah tersebut karena semata-mata kita mengkritisi dan menasehati kesalahan terdapat pada mereka dengan hujjah dan dalil yang jelas menurut para ulama bertentangan dengan Islam, maka mengapa kita “istiqomah” berdiam diri dalam harokah atau jamaah yang menyerukan fanatik kelompok seperti ini.
Bukankah kita masih ingat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau?. Kita berlindung kepada Allah dari kesalahan seperti itu.
Jika kemudian ada orang yang melarang atau mempersulit saudara seimannya atau salah satu anggota keluarganya yang berniat belajar untuk mengenal Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, kemudian dia berkata, “hati-hati saring dulu pemahaman ini dan itu”. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harokah dirinya sendiri tidak “disaring”? apakah harokahnya mutlak Benar? Innalilaahi, bukankah ini cirri sikap fanatik dan taklid berlebihan?.
Mudah-mudahan diri kita tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang demikian.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”. (QS. Al Mu’minun : 53).
Bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa perbuatan berbangga diri terhadap golongan dan harokah adalah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yaitu dalam ayat :
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka”. (QS. Ar ruum 30-32).
Kita tentu harus menjauhi dari sikap berbangga diri terhadap golongan sehingga menolak kebenaran yang merupakan ciri kemusyrikan seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas. Sungguh kita yang sangat lemah harus senantiasa memohon pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hal ini, karena sungguh diri kita adalah makhluk yang lemah dan senantiasa mengedepankan ego, kepentingan pribadi atau kelompok dan berbangga diri dengan apapun yang ada dalam diri kita.
Dengan penuh kesadaran saya secara terbuka menanti saran dan masukan dari semua pihak dan mudah-mudahan saran-kritik yang saya terima menjadi hal yang membuat saya semakin merasa kurang dan memacu saya untuk senantiasa belajar semata-mata mencari Ridho Allah.
Maka silahkan nasehati dan berilah saran keapda diri yang “dhoif” dan penuh kekurangan dan kesalahan dihadapan Allah ini dengan cara ahsan dan dengan adab seorang da’I Islam, dengan hikmah seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala tegaskan :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An Nahl : 125).
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil dan tentu berasal dari Qur’an dan Sunnah berdasarkan tafsir ulama…bukan tafsir kita yang tanpa ilmu.
Jazakallah atas perhatiannya. Dan sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahan saya. Mudah-mudahan hati kita dimudahkan untuk menerima kebenaran. amiin. Dan satu hal lagi bahwasannya yang saya tulis dalam tulisan ini bukan “celaan” atau “penghinaan” terhadap seseorang atau kelompok/ jama’ah manapun. Karena insya Allah saya berargumen dengan dalil , dan tidak ada kata-kata kasar dan celaan (Alhamdulillah).
Maka tidak perlu kita merasa terhina atau tersinggung sehingga syaithon memanfaatkan kita untuk saling benci dan mendengki sehingga saling menolak kebenaran dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Ini hal yang tidak kita inginkan.
Saya mengharapkan kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, untuk saya (khususnya) dan kita semua, dan sekali lagi bahwa ini bukan dalam rangka memulai “debat kusir” atau memulai “memecah belah” umat. Justru saya mengajak mari kita senantiasa belajar untuk berpegang kepada tali Allah (Islam. Qur’an Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam ) dalam menjalankan agama Islam yang kita cintai ini.
Karena sesungguhnya persatuan itu adalah persatuan dibawah bendera Qur’an dan Sunnah serta Aqidah Shohihah yang dicontohkan oleh generasi pertama dalam Islam yaitu Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dan para sahabat RA, Tabi’in dan Tabi’ut Tabiin.
Bukanlah persatuan semu yang didasari semangat tanpa ilmu atau bahkan persatun didasari fanatik mazhab atau kelompok karena persatuan seperti itu bukanlah persatuan berdasarkan Qur’an dan Sunnah RasulullahShalallohu ‘alaihi Wa Sallam . Akan tetapi “persatuan” yang didasari kepentingan makhluk dan hawa nafsu makhluk yang teramat lemah dihadapan Allah.

Maka ini bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat yang mulia :

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama Islam) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imron : 103)
Cukuplah penjelasan yang sangat sederhana ini dan Hujjah serta dalil -dalil yang saya fahami dalam menilai Hizbut Tahrir ini menjadi bukti kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata jika semata-mata saya sebagai hamba-Nya yang lemah berusaha untuk komitmen kepada pemahaman yang shohih sesuai dengan kemampuan saya setelah saya belajar kepada para ustadz, membaca fatwa-fatwa ulama dan menela’ah beberapa kitab-kitab terjemahan ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Saya berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar saya dan kita pada umumnya senantiasa berusaha menjalankan dan memahami Islam yang kita cintai ini agar senantiasa sesuai dengan generasi Salafus sholih yaitu Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam dan para sahabat radhialohu ‘anhu, Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in dalam menjalankan dienul Islam yang kita cintai ini.
Bukan komitmen terhadap perkataan makhluk yang lemah, seperti hanya komitmen dan merasa wajib untuk hanya membenarkan perkataan salah seorang ulama saja atau pendapat satu harokah secara mutlak, yang bisa saja keliru sebagaimana manusia pada umunya ataupun kepada perkataan pemimpin Jama’ah atau kelompok tertentu. Terlebih lagi komitmen terhadap ucapan sendiri yang jauhdari ilmu. Mudah-mudahan Kita diampuni dan dirahmati Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf : 108).
Alhamdulillah.


Yang Senantiasa mengharapkan Hidayah, Taufiq, Rahmat dan Ampunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Abu Farraas Ihsaanulhaq
“Makalah kecil ini sebagai “bingkisan” kecil sebagai bentuk rasa cinta saya pribadi, untuk sahabat-sahabat yang saya cintai yang selalu berusaha untuk komitmen terhadap Sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi Wa Sallam , keluarga besar saya, serta untuk semua muslim yang mudah-mudahan dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala Amiin”.